Pages

Rabu, 23 April 2008

Bo...sannn!!

Akhir-akhir ini hidupku terasa hambar, sepi dan tak berwarna. Rutinitas yang monoton dan menjemukan. Kuhanya bisa menghela nafas panjang. Ingin Kuteriak sekencangnya. Ingin Terbang setingginya. Jiwaku terikat. Jiwaku merana. Terpasung dalam dinding kebosanan dan kemonotonan yang stimultan dan stagnan. Ahh...aku hanya bisa menarik nafas panjang. Mencoba menyegarkan fikiran dan menambah 'energi positif' di dalam pikiran. mencoba 'menggerakan' otak yang keram karena lama tak terpakai. Mencoba 'mengasah' intelektualitas dan sifat kritis yang mulai tumpul karena hanya jadi barang pajangan.

Terkadang, aku merasa kasihan pada diri sendiri. sampai beberapa tahun yang lalu, otakku masih aktif bekerja. berfikir, menganalisa, berdiskusi dan berdebat dalam berbagai hal. Otak dan akalku masih 'kuberi makan' dengan membaca beragam buku, mulai dari yang ringan hingga berat. yang karena terlalu berat tak sanggup kuselesaikan. Daya analisaku masih terasah berbagai diskusi dan debat ilmiah tak berkesudahan. Tapi itu semua terasa begitu menyenangkan. Aku merasa hidup. aku bisa menjadi diriku sendiri. Tak mengenal kata bosan.

Tetapi, entah kenapa sudah tiga tahun belakangan ini, aku merasa lumpuh. Bukan karena penyakit dan ketidakmampuan fisik. Tetapi lebih kepada 'ketidakberdayaan mental'. Memasuki dunia nyata ternyata bisa merubah semuanya. Padahal saat masih duduk di bangku kuliah, aku berharap bisa segera berada di dunia nyata. bekerja dan menghasilkan. Tetapi, ternyata setelah berada di dalamnya, semua terasa berbeda. aku tercerabut dari budaya kritis yang menstimulasi nalar. Aku terpisahkan dari kerinduanku akan hal-hal yang sifatnya kompleks. Aku seakan mati.

Kaku, tumpul, stagnan, tak berdaya. Aku berubah jadi mesin tak bernyawa. yang melakukan ritual yang sama setiap harinya, menghadapi hal yang sama setiap detiknya. Aku tak ubahnya robot kapitalis penghasil uang. dan pada saat yang sama,aku juga menjadi monster konsumeris pemakan uang. Semua yang susah kudapatkan, dapat dalam sekejap kuhabiskan. Semuanya untuk mengatasi kebosanan hidup.

Aku tak mau terus begini. Aku tak mau mati. Karena kutahu kejenuhan dan kebosanan ini bisa membunuhku, perlahan namun pasti

Rabu, 09 April 2008

Tuhan Tahu Tapi Menunggu.

Aku benar-benar kena batunya. Sampai hampir setahun yang lalu, aku pernah bekerja di lapang dan sangat jarang sekali berada di kantor. Aku benci sekali kalau dikejar-kejar dengan manusia2 di kantor yang kerjaannya hanya menanyakan report, progress, dan semacamnya. Aku sering sekali berfikir, mereka hanya orang-orang yang tidak tahu apa-apa dan hanya bisa mengejar-ngejar saja. Mereka juga tidak tahu keadaan riil yang terjadi di lapangan. 

Itu semua disebabkan oleh kebencian dan ' dendam' yang teramat dalam pada beberapa orang di kantor. Yang menurutku (juga menurut hampir semua orang) tak punya kapabilitas dan hanya bermodalkan koneksi. Bahkan tidak pernah survei ke lapangan dan tidak bisa menggunakan 'tools' yang sudah menjadi syarat mutlak untuk profesiku sekarang. Tetapi karena koneksi, kroni dan 'jilatisme' serta ABS mereka bisa menjadi superiorku. Aku tak sudi, egoku tak rela kalau aku dipimpin oleh orang yang 'tidak lebih' dari aku. Bukannya aku tak suka menjadi anak buah. Aku suka menjadi 'anak buah' orang yang menurutku 'lebih hebat dariku. Sehingga aku bisa belajar banyak hal dari mereka. Aku bisa terpacu untuk maju dan menjadi sehebat mereka. Di tempatku bekerja sebenarnya beberapa kali aku menemukan 'orang-orang hebat' seperti ini. Bahkan hingga detik ini. aku kagum pada beberapa orang di kantorku. Beberapa orang atasanku. Tetapi, tidak pada setahun yang lalu. waktu itu aku berada di bawah kekuasaan kroni-isme yang sangat kronis. Bahkan mendekati buta. Aku muak, aku teriak. Hingga dengan membabi buta, aku membenci pekerjaan kantoran. 

Aku senang jadi orang lapangan. lepas, bebas, tak monoton. Aku membenci orang-orang kantor.
Ternyata memang benar Tuhan tahu tapi menunggu. Dia Maha Tahu semua yang kita pikirkan, semua yang kita lakukan, bahkan yang terdalam sekalipun. Tetapi Dia tidak memperingatkan kita secara langsung dan pada saat itu juga. Perlu menunggu waktu satu tahun untuk memperingatkanku akan semua kesalahanku.

Sekarang, ketika aku sudah pindah project dengan superior yang jauh lebih baik dan hebat. Hingga aku merasa kagum pada beliau. and sometimes 'i want to be like her'. Disini aku lebih banyak berada di kantor. dan kerjaku adalah memonitoring progress orang2. Bayangkan, dulu aku sangat benci untuk dikejar-kejar, tetapi sekarang aku harus berada dalam posisi mengejar-mengejar. Dulu, aku benci berada di kantor. Tetapi sekarang hampir 90% waktuku kuhabiskan di kantor dan 'bercumbu' dengan komputer, memandangi table-tabel dengan ratusan kolom, dan mengupdate reportku setiap harinya. Kalau dulu aku suka malas membuat report lapangan yang rapi, tetapi sekarang, aku dibuat stress dengan report dan data yang kacau balau, tak rapi dan tak lengkap. Oh My God...mungkin ini yang namanya karma. aku kena batunya.

Tuhan tahu aku dulu telah salah menilai kantor, pekerjaan kantoran dan orang-orang kantor. makanya sekarang aku ditempatkan pada posisi yang dulu kubenci. Agar aku bisa mersakan pahit dan beratnya.
Kalimat Tuhan tahu tapi Menunggu benar2 terasa didiriku. Aku malu. Aku kapok. Sekarang aku tak mau terlalu berprasangka akan segala hal yang belum pasti. Akan segala hal yang aku tak tahu. Karena kusadar, aku bukan siapa-siapa.

Karena Tuhan Tahu Tapi Menunggu