Pages

Jumat, 13 Februari 2009

ANAK SEMUA BANGSA. By : Pramoedya Ananta Toer


“Dengan rendah hati aku mengakui, aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orangtua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat”

-Pramoedya Ananta Toer dalam Anak Semua Bangsa-

Ini adalah lanjutan dari kisahku. Kisah seorang anak yang terlahir di atas bumi manusia, dengan kesetaraan fitrah dan kelahirannya. Tanpa batas negara, suku, budaya, tempat, darah dan segalanya. Akan tetapi, pada saat yang sama, manusia mencoba menetapkan sistem, aturan dan nilainya sendiri. Manusia mengkotakkan diri dalam batasan fana negara, bangsa, suku ataupun kasta. Apakah yang disebut bangsa? Apakah yang dinamakan kasta? Dan apakah pula yang dikatakan sebagai kelas sosial?

Dengan keangkuhannya sendiri, manusia menempatkan diri mereka berada di atas sebagian yang lain. Batasan antara timur dan barat, tradisional dan modern, beradab dan biadab serta antara kulit putih dan berwarna. Apakah sebenarnya bedanya? Semua manusia berasal dari benih yang sama. Yaitu benih adam dan hawa yang akhirnya terusir dari surga. Manusia sama-sama hanyalah gumpalan tanah yang diberi ruh. Manusia juga sam-sama adalah hasil dari kompetisi sperma yang bertempur untuk bisa membuahi sel telur. Setelah berbuah, membelah, lantas tumbuh dan berkembang. Lantas apakah bedanya kita dengan mereka?? Apakah yang menjadi dasar anggapan kalau Barat selalu lebih unggul dari timur? Kulit putih lebih tinggi derajatnya dari kulit berwarna? Kalau bangsa yang satu berada di atas bangsa yang lain sehingga membuatnya merasa bebas berbuat apa saja?? Apakah ilmu pengetahuan? Budaya? Pandangan mereka terhadap diri mereka sendiri atau bahkan nafsu dan keserakahan manusia?

Anak semua bangsa merupakan buku kedua dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Anak semua bangsa adalah sebuah titik balik dalam kisah hidup seorang Minke. Bentrokan antara kekagumannya terhadap Eropa dengan realita yang dialami bangsanya. Merupakan titik balik dimana ia mulai untuk mengenal bangsanya sendiri. Mengenal dirinya sendiri.

Setelah kepergian istrinya-Annelies-, Minke berencana untuk melanjutkan studinya di tanah Betawi. Akan tetapi, siapa sangka, perjalanannya ini menjadi pemicu menuju titik balik kehidupannya. Pertemuannya dengan Khouw Ah Soe menggugah semangatnya untuk bergerak sebagai kaum muda. Sindiran sahabatnya Komer menantangnya untuk lebih mengenal bangsanya. Kenyataan dan kisah seorang petani Trunodongso serta seorang Surati cukup menyadarkannya kalau ia memang tidak cukup mengenal bangsanya sendiri.. Ini adalah sebuah titik balik dari perjalanannya di atas bumi manusia.

Perrjalan mengenal kembali bangsanya bukanlah suatu hal yang mudah. Minke dihadapkan pada suatu keironisan baru. Kenyataan bahwa bangsanya cukup kerdil di tengah-tengah masyarakat dunia. Bangsa kerdil yang tidak cukup bangga memandang dirinya sendiri. Bangsa kerdil yang betah selama berabad-abad selalu menghamba pada bangsa lain, yang ironisnya di atas tanah mereka sendiri. Menjadi budak di atas bumi mereka sendiri.

Humanisme, kesadaran akan harga diri bangsa, keadilan, konflik antara barat dan timur dan kesetaraan manusia masih mewarnai buku kedua ini. Bahkan nila-nilai itu terasa lebih nyata dan menohok. Humanisme yang universal. Walaupun pada dasarnya semua manusia diciptakan setara. Akan tetapi, manusia pulalah yang telah membatasi dirinya sendiri. Kekerdilan pikiran dan mental di satu sisi dan kerakusan di sisi lain. Kebodohan di kutub yang satu, melawan modal dan ilmu pengetahuan.

Kita adalah apa yang kita pikirkan. Selama suatu bangsa masih memandang rendah dirinya sendiri, selamanya bangsa itu akan berharga rendah. Selama suatu bangsa tidak menganggap dirinya setara dengan bangsa lain, maka akan selamanya pula ia menjadi hamba. Penggambaran yang cukup menyentak dan menohok kesadaran. Bahkan lebih jauh dapat menjadi suatu kritik dan sindiran tajam apabila ditarik hingga era sekarang. Humanisme, keadilan, kesetaraan dan kesadaran akan diri sendiri. Lebh jauh lagi menjurus kepada sosialisme yang sama rata sama rasa?? Komunisme yang sama rata sama rasa tanpa kuasa??

Hahaha, terlalu jauh sepertinya kalau saya menariknya hingga ke arah sana. Akan tetapi bisa jadi, itu yang menjadi ketakutan kaum penguasa orde sebelumnya. Ketakutan akan kritik terhadap diri sendiri. Ketakutan melihat cacat di tubuh sendiri. Tapi ini hanyalah sebuah kemungkinan dari berjuta kemungkinan yang beredar di luar sana. Mungkin, maybe, bisa jadi, probably. Hahaha..entahlah...tak mau pusing saya memikirkannya. Saya bukanlah ahli sejarah, tata negara dan sastra. Saya bukanlah siapa-siapa. Saya hanyalah penikmat seni dan sastra.