Pages

Senin, 18 Mei 2009

GERHANA KEMBAR By : Clara Ng


CINTA...Lima huruf yang ajaib dan penuh misteri. Rasanya, tak akan pernah cukup tinta seluas samudra untuk menggambarkannya. Ibarat pelangi indah campuran berbagai rasa. Manis, pahit, sedih, bahagia dan juga luka. Cinta bisa membuat orang bersemangat empat lima. Tetapi di saat yang sama dia bisa membuat orang sakit kepala, jiwa dan rela kehilangan nyawa. Kita tak akan pernah tahu kapan ia akan datang dan kepada siapa ia datang. Orang bilang, cinta itu buta. Cinta sejati tak mengenal batasan usia, kasta, agama, dunia, negara dan juga.....jenis kelamin...

“Cinta itu tak mengenal jenis kelamin, yang penting adalah kasih sayng.“

Ketika pertama kali mendengar kalimat itu, aku hanya bisa tertawa. Aku hanya menganggapnya sebuah lelucon saja. Sebuah lelucon konyol yang dilontarkan beberapa temanku yang ‘agak gila’. Sama sekali tak pernah terfikir olehku bahwa cinta yang seperti itu benar-benar ada.

Aku seringkali mendengar istilah homosex, lesbianisme dan kaum gay. Sama seperti aku juga sering mendengar tentang narkoba, sex bebas dan orang gila. Selama ini aku menganggap hal tersebut adalah sebuah’penyimpangan’, baik dari sisi kejiwaan maupun sosial. Sebuah hal yang jelas-jelas bertentangan dengan norma apapun yang pernah ada.

Aku bukanlah seorang homophobia. Pun aku juga bukan homofilia. Lebih tepatnya, aku bersikap netral. Aku adalah orang yang (berusaha) menghormati hak dan kebebasan individu, sepanjang itu tdk merugikan orang lain. Aku tak pernah ambil pusing tentang apakah si A gay atau si B bersikap ‘ACDC’. Asalkan mereka tidak ‘menyerang’ dan ‘mendekatiku’ secara personal. Karena walaubagaimanapun aku ini masih orang normal. Atau setidaknya kupikir begitu hingga detik ini.

Kalau mendengar tentang hubungan sesama jenis ini, yang terpikir di kepalaku adalah kok bisa? Dari sebegitu banyaknya wanita cantik di muka bumi ini, kenapa orang lebih memilih untuk mencintai sesama pria. Dengan adanya berjuta pria tampan dan keren yang berseliweran di planet ini, kenapa seorang wanita bisa menjadi lesbian? Aneh. Cinta yang aneh. Dunia yang aneh. Orang-orang yang aneh. Aku selalu keheranan dibuatnya.

Ketika membaca bagian awal novel ini, aku tak pernah menyangka kalau ini adalah kisah tentang hubungan cinta sesama. Cinta terlarang. Di pertengahan cerita, secara otomatis pemutar MP3 di kepalaku langsung memutar lagu “Cinta Terlarang’ dari The Virgin.

Kau kan selalu tersimpan di hatiku
Mesti ragamu tak dapat kumiliki
Jiwaku kan selalu bersamamu
Mesti kau tercipta bukan untukku

Reff:
Tuhan berikan aku hidup satu kali lagi
Hanya untuk bersamanya
Kumencintainya.....
Sungguh mencintainya.....

Rasa ini sungguh tak wajar
Namun kuingin tetap bersama dia
Untuk selamanya

Mengapa cinta ini terlarang
Saat ku yakini kaulah milikku
Mengapa cinta kita tak bisa bersatu
Saat kuyakin tak ada cinta selain dirimu

Back to reff

Setiap mendengar lagu tersebut diputar di radio ataupun TV, yang pertama kali terlintas dipikiranku ini adalah kisah tentang lesbian. Walaupun di video klipnya menceritakan bentuk “cinta terlarang” lainnya (cinta adik dan kakak ipar?), tetapi entah kenapa aku tetap berpikir kalau lagu ini tdk bercerita tentang itu. Apalagi kalau melihat penampilan penyanyinya, plus beberapa adegan di video klipnya. Tetapi sudahlah tak perlu dibahas terlalu jauh. Toch itukan hanya kesan pribadiku saja. Tak ada hubungannya dengan sentimen pribadi ataupun aspek suka atau tdk suka dengan penyanyinya.

Kembali ke jalan yang benar, ini adalah sebuah review dari novel Gerhana Kembar karya Clara Ng, bukan review lagu ‘Cinta Terlarang’ dari The Virgin.

Lendy, seorang editor di sebuah perusahaan penerbitan tanpa sengaja menemukan sebuah naskah tua dan potongan-potongan surat di dalam lemari Diana-neneknya-. Saat itu sang nenek sedang sekarat di rumah sakit. Ibarat memasuki sebuah dunia yang terkunci rapat. Sebuah rahasia besar masa lalu neneknya dan juga tentang kehadirannya di dunia. Perlahan, dia mulai menyatukan kembali potongan teka teki masa lalu Diana.

Gerhana Kembar adalah kisah tentang cinta seorang wanita terhadap wanita. Sebuah kisah cinta yang tulus dan penuh pasang surut. Membaca novel ini membawaku ke sebuah dunia yang belum kukenal. Rajutan ceritanya menarik emosiku untuk terbawa. Sedih, luka, merana dan cinta. Debarannya, bahagianya dan juga lukanya. Membaca novel ini membuatku jadi berpikir kalau cinta sesama jenis, lesbianisme, homosex atau apapun namanya adalah sesuatu yang biasa saja, normal. Senormal dan sewajar hubungan antara laki laki dan perempuan. Mengalir begitu saja dan alami. Sealami air mineral dari mata air pegunungan. Ini tak ada hubungannya dengan luka masa lalu dan sakit hati. Pun jua tak ada kaitannya dengan penyakit dan penyimpangan. Ini adalah masalah hati. Perasaan. Sesuatu yang bersifat sangat personal. Walaupun itu melanggar batas norma. Peduli setan dengan anggapan publik. Karena kalu kita sudah bicara tentang cinta, seringkali terlupakan masalah logika.

Novel ini tak melulu bicara tentang lesbianisme. Lebih daripada itu, ini adalah tentang sebuah cinta sejati, pengorbanan dan cinta seorang ibu. Walaupun ditentang seluruh dunia, ia tetaplah abadi. Tak hanya itu, kiah ini juga bicara tentang bagaimana berdamai dengan masa lalu, karena seperti apapun ia adalah bagian dari sejarah hidup kita. Bagaimana kita berdamai dengan masa lalu adalah juga tentang bagaimana memaafkan. Juga tentang bagaimana menghargai masa kini.

Salut untuk Clara Ng atas karyanya ini. melalui Gerhana Kembar ia berani membicarakan sesuatu yang tabu di mata masyarakat menjadi sesuatu yang terlihat wajar dan layak untuk dibicarakan. Tiada kesan menghakimi. Juga tak terkesan berlebihan hingga orang salah mengira ia juga adalah seorang lesbian. Clara menceritakan lesbianisme dari sisi yang lain dan berbeda. Bukan sebagai sebuah penyimpangan dan dosa. Bukan pula pelarian atas sakit hati dan trauma masa lalu. Juga bukan sebagai penyakit sosial yang bisa menular. Tetapi ini adalah masalah hati. Sesederhana itu. Sekaligus juga sekompleks itu.

Kamis, 14 Mei 2009

Dimsum terakhir. By : Clara Ng


Ramalan zodiak, shio dan horoskop mengatakan kalau nasib dan sifat orang ditentukan dari tanggal dan bulan kelahiran. Itu berarti orang yang lahir pada tanggal dan bulan yang sama, bahkan tahun yang juga sama akan memiliki nasib dan sifat yang sama.

Ramalan hanya tinggal ramalan. Yang tidak bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan kebenarannya. Buktinya, Siska, Indah, Rosi dan Novera - empat orang saudara kembar yang pastinya lahir di hari, tanggal, bulan dan tahun yang sama tumbuh dan besar dengan sifat, gaya, nasib dan jalan hidup serta masalah yang berbeda. Pengusaha sukses, wartawan plus penulis novel, petani bunga dan guru TK. Siska yang smart, Indah yang kaku tapi dapat diandalkan, Rosi yang selalu ceria dan seenaknya dan Novera yang lembut tapi keras kepala. Setelah beberapa lama terpencar di empat arah mata angin, Singapura, Jakarta, Puncak Cisarua dan Yogyakarta. Mereka berempat terpaksa harus kembali ke Jakarta karena ayah mereka yang sudah tua menderita stroke. Ini adalah sebuah kisah tentang sebuah keluarga. Ketika ego dan kehidupan pribadi ditubrukan dengan sesuatu yang namanya keluarga.

Ketika membaca kisah ini membuatku ingat pada keluargaku sendiri. Walaupun kami tidak bersaudara kembar, tetapi terkadang justru perasaan memiliki itu ada ketika kita tercerai berai. Ternyata darah itu memang lebih kental daripada air. Bagaimanapun keadaan kita, seperti apapun kita. Dan apapun yang terjadi pada kita, keluarga selalu jadi pihak yang selalu menerima kita apa adanya. Sejatinya kita. Keluarga akan jadi tempat kita kembali. Kalau pepatah bilang, setinggi tingginya bangau terbang, pasti akan kembali ke sarangnya. Seperti juga buatku, kemanapun aku pergi, Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Padang atau bahkan London sekalipun. Aku tetap punya tempat untuk kembali. Wualah..kok malah jadi curhat gini sih...i miss Jakarta, I miss My family, i miss my friends..Kapan gw kembali ke Jakarta?? hiks3x *berlebihan*

Membaca kisah ini membuatku terharu hingga meneteskan air mata, juga sekaligus tertawa di bagian yang lain. Segar tapi juga menyentuh. Tak hanya itu kisah ini kritis. Dengan latar belakang keluarga keturunan Cina, Dimsum Terakhir banyak menceritakan bagaimana nasib dan perlakuan terhadap para warga keturunan Cina di era Orde Baru. Kritis, tanpa bermaksud menghakimi. Mengalir apa adanya. Saya sudah membaca hampir semua novel karya Clara Ng, dan hingga kini menurutku novel ini (dan Unreality Show) termasuk salah satu karya terbaiknya.