Pages

Jumat, 28 Mei 2010

Sesak (Lagi)


Sesak. Pengap. Seperti seluruh udara hilang tiba-tiba. Berubah hampa.
Sesak. Penat. Tiada udara. Nafasku terbata. Dadaku lara.
Sesak. Berat. Seperti ada berton beban menimpa. Tapi tak nyata.

Kuingin teriak, tapi tak bisa.
Kuingin berlari, tapi tak kuasa.
Kuingin bunuhi rasa ini, tapi tak berdaya.

Yang tertinggal hanya sesak dan tangis kering tanpa suara.
Tanpa air mata.

Makassar, 27 Mei 2010

Baik-Baik Saja


Pagi ini, kuterbangun lagi ke dunia.
Kucari nyawa yang masih melayang entah ke mana.
Setelah semalaman mondar mandir antara sadar dan tiada.
Terusik sesak dan permainan rasa.

Perlahan, kubuka kelopak mata.
Kususuri ruang di mana kini kuberada.
Kuhirup dalam segarnya udara.

Ternyata, aku masih di tempat yang sama.
Dan aku masih diriku yang sama.
Dengan aku yang kemarin, dan juga kemarin lusa.
Tiada berbeda.

Kusadar, kalau aku masih punya DIA.
DIA yang cinta-NYA abadi.
Dia Sang Maha Segala. Penguasa semesta raya.

Karena-Nya, aku tahu, aku akan baik-baik saja.
Karena kutahu, semua pasti ada hikmahnya.
Walaupun kini, kumasih tak mengerti untuk apa.
Tapi suatu saat nanti, pasti ‘kan kutemui jawabannya.

Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu.
Dari semua goda dunia fana.
Aku berserah kepada-Mu.
Akan semua urusanku di dunia.

Amiin…

Makassar, 28 Mei 2010

Kamis, 13 Mei 2010

Rindu Dendam


Sepenggal kenangan yang terserak.
Seraut bayang samar.
Sebenih rasa yang hilang.
Tersembunyi. Dalam.

Tertimpa episode hidup yang terus berjalan.
Terkikis orang yang lalu lalang.
Terbasuh hujan, badai, mentari serta pelangi kehidupan.

Kupikir lelah.
Kusangka letih.
Tapiku malah rindu, dendam.
Tak bisa berhenti. Kecanduan.

Kurindu warna warni itu.
Debar dan getaran itu.
Sensasinya. Iramanya. Rasanya.

Hingga kutak lagi rasakan sakitnya.
Perihnya. Juga asin air mata.
Aku rindu. Dendam.

Kudendam pada rindu yang terus bersarang.
Kubenci pada rasa yang terlarang.
Rindu yang mendendam.
Dendam pada rindu yang dalam.

Kukutuk hari saat pertama kali kutemui kau.
Kupuja detik saat pertama kukenal engkau.
Aku rindu dendam. Padamu....tak terelakan..

Makassar, 11 Mei 2010

Senin, 03 Mei 2010

Jejak Langkah By: PAT


Sepertinya, membaca tetralogi buru semakin lama terasa semakin berat. Makin lama saja selesainya. Bukan hanya karena ketebalan bukunya, tetapi lebih kepada isinya. Dan untuk buku ketiga ini, menghabiskan entah berapa bulan sejak pertama kali kubuka lembar pertamanya. Kalau berdasarkan waktu saat pertama kali saya memasukkan buku ini dalam readlist di goodreads, berarti hampir satu tahun lamanya. Karena di GR, tertulis kalau saya membacanya sejak Mei 2009. ini adalah buku yang memakan waktu paling lama untuk menyelesaikannya, bahkan mengalahkan Musashi yang tebalnya melebihi kitab suci. Kalau buku-buku yang bahkan sama sekali tak terselesaikan tidak dihitung ya.

Karena membaca bagian awalnya sudah lama.. sekali. Terseling banyak buku, plus sempat tertinggal di Jakarta saat di Palangkaraya kemarin. Jadinya agak kebingungan juga ketika mulai melanjutkan lagi. apalagi kalau dikaitkan dengan dua buku sebelumnya jadi keteteran dan ga nyambung. Harus banyak membolak balik bagian depannya.

Kalau di bumi manusia, lebih banyak bercerita tentang pergolakan internal di dalam diri seorang Minke, ketika budaya Jawa dan Timur akar darimana dia berasal ditabrakkan dengan budaya Eropa dan Barat. Dan di buku kedua (Anak Semua Bangsa), kesadaran kebangsaan itu mulai tumbuh dan berkembang di dalam dirinya. Di buku ketiga ini, Minke sudah memantapkan hati untuk menjadi orang yang bisa memberikan sesuatu untuk bangsanya. Dengan Medan, Boedi Oetomo dan SDI sebagai sarananya.

Membaca buku ketiga ini seperti membaca buku sejarah perjuangan bangsa, akan tetapi dalam bentuk penyajian yang berbeda. Jadi teringat pelajaran PSPB waktu jaman esde dulu. Terlalu banyak data sejarah dan detailnya. Membuat harus pelan-pelan membacanya. Saya yang agak lemah dalam menghafal tanggal dan peristiwa makin pening dibuatnya $%&*$

Ga mampu buat review ah. Lieur…. Dan belum siap buat baca buku keempatnya. Butuh break, daripada muntah-muntah. Ho3x :P

Tanah Tabu By: Anindita S. Thayf


“Di ujung sabar ada perlawanan. Di batas nafsu ada kehancuran. Dan air mata hanyalah untuk yang lemah.” (Anindita S. Thayf – Tanah Tabu)

Penulisan dan penggambaran yang luar biasa tentang papua dan masyarakatnya. seperti diceritakan sendiri oleh orang yang terlahir dan besar di sana. Padahal, berdasarkan info seorang teman, Anindita bahkan sama sekali belum pernah menginjakkan kakinya di tanah papua saat menulis novel ini. ck ck ck..salut.

Hasil sebuah studi literasi dan penelitian yang mendalam? Atau jangan-jangan penulis punya kemampuan supranatural yang membuatnya bisa pergi kemanapun, walaupun secara fisik ia tidak beranjak kemana-mana? *mulai ngehayal*

Benar kata pepatah, buku adalah jendela dunia. Dan di zaman sekarang buku dan internet bekerjasama mengantarkan kita ke tempat manapun di dunia. Menyusuri pedalaman manapun di belantara sana. Mempelajari kebudayaan apapun di masyarakat nun jauh di sana. Membawa imajinasi kita pergi melanglang buana. walaupun secara fisik tidak. Jadi kekuatan supranatural yang dikenal nenek moyang kita dulu, saat ini bernama "imajinasi".

Acung banyak jempol untuk novel ini. Untuk deskripsinya yang detail, untuk kisahnya yang orisinil dan baru, untuk penokohan dan karakternya yang kuat, untuk cara penceritaanya yang sempat membuatku terkecoh dan dibuat bingung akan siapakah kwee dan pum itu. Dan yang paling penting dari semua itu, adalah ceritanya itu sendiri. Tanah tabu adalah kisah tentang nasib orang-orang yang menjadi budak di negerinya sendiri. Menjadi miskin di tanahnya sendiri yang kaya raya, Terpinggirkan dan terkucilkan. Ketika mereka hanya bisa jadi penonton yang termangu ketika hasil kekayaan alam mereka dijarah habis-habisan oleh pihak asing - yang ironisnya diamini oleh sebagian kecil pribumi penjilat dan haus kekayaan-. sebuah penjajahan jenis baru di negara yang katanya sudah merdeka sejak tahun 1945 ini.

Selain itu, kisah ini juga mengangat issue keperempuanan. Lagi-lagi tentang perempuan. Entah kenapa akhir-akhir ini buku-buku yang kubaca banyak yang bertemakan issue keperempuanan, atau paling tidak terkait ke arah sana. Sampai-sampai ada seorang kawan yang berkomentar bahwa di hampir semua tulisan dan review yang kutulis belakangan ini bernada sentiment “girl power” semua. Ha ha ha. Ada- ada saja. Hi brother, saya bukan seorang feminis, apalagi orang yang feminim. Dan saya tidak suka membaca femina ataupun meminum feminax setiap bulan :P saya adalah saya. Hanya saya. Saya hanya orang yang suka membaca dan sedang belajar untuk menuliskan dan mengemukakan pikiran-pikiran saya sendiri. terlepas dari apakah saya terlahir sebagai seorang perempuan ataupun lelaki. Karena sebuah ide, imajinasi tak bisa dimomopoli oleh satu kaum atau jenis kelamin saja. Dan kalaupun ternyata Tuhan menghendaki saya terlahir sebagai seorang perempuan. Ya sudah, terima saja. Syukuri, jalani, nikmati. Karena kita tidak bisa memilih kapan dan dimana kita akan dilahirkan, termasuk berjenis kelamin apakah kita. Yang bisa kita lakukan adalah berusaha dengan sebaik-baiknya. karena hidup adalah sebuah pilihan. Dan pilihan-pilhanlah yang akan membentuk jalan hidup kita. Karena kitalah yang menentukan dan membelokkan takdir. Karena Tuhan tidak akan pernah merubah nasib seseorang ataupun suatu kaum kalau mereka sendiri tidak mau dan tidak berusaha merubahnya.

Seperti yang saya bilang sebelumnya, kalau kita tidak bisa memilih kapan dan di mana kita lahir serta akan berjenis kelamin apa. Jadi, bukan salah dan kemauan saya kalau saya terlahir sebagai seorang perempuan. Juga bukan salah dan kemauan Annabel, Lisbeth, Mama Helda serta berjuta perempuan lainnya di seluruh dunia. Aku, kami, mereka tidak pernah memilih dan memutuskan untuk jadi perempuan. Kami hanya terlahir sebagai perempuan. Sesuatu yang kami terima tanpa protes. Yah, walaupun terkadang ada beberapa yang mengadu dan marah pada Tuhan karenanya. Bahkan tak jarang yang coba menghindari kenyataan. Tetapi apakah hanya karena kami terlahir sebagai perempuan – dan bukannya laki-laki – kami bisa diperlakukan dengan seenaknya dan semena-mena? Seperti raja dan alas kakinya? Di hampir semua budaya, entah itu Jawa, Papua, Eropa, Timur Tengah, Cina, Jepang dan yang lainnya. Entah kenapa kalau menyangkut issue yang satu ini agak sensi sepertinya. Bisa memacu perdebatan panjang yang tak kunjung usai. Orang boleh bilang kalau jaman sudah maju. Orang boleh berkata kalau kesetaraan itu sudah ada. Tetapi tetap saja, masih ada saja -di entah bagian bumi yang mana - terjadi penindasan dari jenis kelamin yang satu terhadap jenis kelamin lainnya. Seperti juga terjadi penjajahan atas kaum yang satu terhadap kaum yang lainnya. Itulah dunia. Tempat kita tinggal sekarang dan mungkin akan jadi tempat kita mati nanti. Tapi seperti apapun itu, jalani saja dan terus berusaha. Jangan mengeluh apalagi mencucurkan air mata. Seperti petuah Mabel yang bijak “Di ujung sabar ada perlawanan. Di batas nafsu ada kehancuran. Dan air mata hanyalah untuk yang lemah.”

Sabtu, 01 Mei 2010

Sahabat Jadi Cinta (Sebuah Review atas Novel Refrain By: Winna Efendi)


Kuhantarkan bak di pelataran
Hati yang temaran
Matamu juga mata mataku
Ada hasrat yang mungkin terlarang
*
Satu kata yang sulit terucap
Hingga batinku tersiksa
Tuhan tolong aku jelaskanlah
Perasaanku berubah jadi cinta
Reff :
Tak bisa hatiku merapikan cinta
Karena cinta tersirat bukan tersurat
Meski bibirku terus berkata tidak
Mataku terus pancarkan sinarnya
Kudapati diri makin tersesat
Saat kita bersama
Desah nafas yang tak bisa teruskan
Persahabatan jadi cinta
Back To *
Back to Reff
Reff:
Apa yang kita kini tengah rasakan
Mengapakah kita coba persatukan
Mungkin cobaan untuk persahabatan
Atau mungkin sebuah takdir Tuhan
(Sahabat Jadi Cinta By : Zigaz)

Lagu sahabat jadi cinta-nya Zigaz ini sangat tepat untuk menggambarkan topic sentral dalam kisah ini. Ketika dua orang sahabat sejak kecil -Nata dan Niki- harus dihadapkan pada kenyataan ketika perasaan salah satu dari mereka mulai berubah arah, dari persahabatan menjadi cinta. Sebenarnya, topik seperti ini bukanlah sebuah hal baru. Banyak kisah yang bertemakan hal yang sama. Karena memang pada kenyataannya banyak sekali terjadi ketika dua orang - pria dan wanita – bersahabat dekat, biasanya ada satu pihak, kalau tidak keduanya yang akhirnya jatuh cinta kepada sahabatnya. Karena kebersamaan yang lama. Karena perasaan memiliki dan saling mengerti. Ketika pria dan wanita bersahabat seringkali terjebak pada batasan antara sahabat dan cinta yang menjadi sedemikian tipis. Bahkan saking dekatnya terkadang tidak kita sadari keberadaannya hingga suatu ketika muncul orang ketiga yang menjadi “ancaman”. Atau bahkan hingga orang sahabat kita itu sudah tak ada lagi di dekat kita. Sebuah kisah yang klise dan tidak bisa disebut baru. Tetapi bisa diolah sedemikian rupa hingga menyentuh.

Saya bilang menyentuh, setidaknya buat diriku pribadi , entah buat yang lain. Toch penafsiran dan penilaian atas sebuah karya tetap kembali kepada masing-masing pembaca kan? Menyentuh karena kisah dalam novel ini seperti mengingatkanku pada kisahku sendiri beberapa waktu lalu. Ketika sebuah persahabatan yang telah dijalin beberapa lama, walaupun hanya dengan beberapa kali tatap muka, lebih banyak hanya melalui dunia maya bisa menumbuhkan benih-benih cinta yang entah sejak kapan datangnya. Hingga sampai di satu titik, kutaktahu harus bagimana. Tak bisa terus membohongi diri sendiri serta rasa takut kehilangan. Kejujuran adalah sebuah pilihan yang membebaskanku dari rasa penasaran. Walaupun ketika tiba saatnya, semuanya jadi serba salah, serba canggung. Tapi dengan berjalannya waktu semuanya bisa kembali berjalan normal, bahkan lebih baik dari sebelumnya.

Persahabatan yang tulus tak butuh alasan. Ia akan tetap ada, walaupun tak ada lagi alasan. Ketika persamaan tempat tinggal, pekerjaan, kantor, kelas sosial, kepentingan, hobi, minat, organisasi, dll yang seringkali dijadikan alasan untuk sebuah pertemanan tidak ada lagi. Persahabatan akan tetap ada dan terjalin. Persahabatan bisa menumbuhkan saling pengertian yang seringkali lebih dalam daripada cinta.

Sama seperti Niki yang merelakan Nata untuk pergi meraih mimpinya. Aku seperti diingatkan kembali pada seseorang yang memilih untuk pergi juga demi meraih mimpinya. Karena buatku, mimpinya seperti juga mimpiku sendiri. Dan pada saat yang sama kusadari kalau aku mengaguminya justru karena mimpinya. Idealismenya. Cita-citanya. Mimpi, idealisme dan cita-cita yang tak jauh berbeda dari milikku sendiri. Yang hingga kini kumasih terseok-seok tak tentu arah untuk mempertahankannya. Dihadapkan pada realita hidup, dihadapkan pada kewajiban dan tanggung jawab. Jadi, kepergiannya mengejar mimpi, seperti membawa sebagian dari mimpiku yang belum bisa kuraih di waktu yang sama. Menjadi pendukung dan sahabat terbaiknya adalah pilihan yang akhirnya kupilih. Entah demi dia atau bahkan demi diriku sendiri. Demi semua hal yang kumiliki terhadapnya, demi mengobati kesedihan hati sendiri yang hingga kini belum bisa mendekati mimpi-mimpi tadi, atau bahkan tidak demi apa-apa. Yang ada hanya keinginan untuk memberi.

Ups..sepertinya review ini berubah jadi sebuah curcol. Tapi tak apalah, saya tak perlu menutupi apapun karena tak ada hal yang salah. Pun tak ada yang perlu disesali atau diratapi. Memang, “tidak ada persahabatan yang sempurna di dunia ini. Yang ada hanya orang-orang yang berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankannya”. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita menjalani dan mensyukuri setiap hal yang ada saat ini, dengan tetap menatap ke depan dengan optimis dan terus memiliki mimpi. “Because we never know what will happen at the future”.