Pages

Kamis, 30 September 2010

Ada Apa Dengan Cinta?


“Cinta itu anugrah, maka berbahagialah. Karena kita sengsara bila tak punya cinta…” (Doel Soembang)
Beberapa hari terakhir, entah kenapa di chatt room gerombolan skypers sedang hot-hotnya dibahas tentang cinta. Kalau versi Imam, satu kata cinta. C.I.N.T.A 

Cinta. Apa sih itu cinta? Kalu bicara tentang hal satu ini, setiap orang bisa punya pendapat yang berbeda. Tergantung pemahaman dan pemaknaannya sendiri tentang cinta. Ada yang bilang kalau cinta itu logis, dari dulu hingga sekarang. Ada yang bilang cinta itu tak bisa didefinisikan, karena semua kembali kepada naluri. Ada yang bilang cinta adalah komitmen untuk terus bersama baik dalam suka dan duka.

Kalau menurut Kahlil Gibran “cinta mengarahkan manusia pada Allah, dan karena cinta pula Allah mempertemukan diri-Nya kepada manusia. Lantaran itu dalam pandangan Gibran cinta sesungguhnya adalah cinta atas nama Allah dan cinta kepada Allah itu sendiri, karena segala sesuatu adalah pantulan dan imanensi dari Sang Mahacinta. Cinta kepada yang lain selain Allah, tetapi atas nama dan di dasarkan pada Allah akan membawa manusia dan alam semesta kepada persekutuan dengan Allah” (Cinta Keindahan Kesunyian, Yogyakarta, Bentang Budaya, 1999, hal. 72-74).

Menurut tante Wiki “Cinta adalah sebuah perasaan yang ingin membagi bersama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut.”

Sedangkan menurut Mario Teguh “ Cinta sejati bukan pada yang dicintai, tetapi pada yang mencintai.
Intinya, beda kepala beda pemahaman tentang cinta. So how about me? Well, menurut saya cinta itu… hmmm…apa ya? Cinta itu perasaan yang unik terhadap seseorang/ sesuatu. Karena cinta banyak macamnya, khusus cinta terhadap lawan jenis (atau sesama jenis untuk orang-orang tertentu), cinta itu biasanya menggebu-gebu diawal, kenginan untuk memiliki dan takut kehilangan, lantas berubah menjadi lebih lembut, keinginan untuk memberi di pertengahan, dan kalau tidak bisa dijaga dan dipertahankan bisa layu terus mati. Atau malah sebaliknya bisa terus ada dan berkembang  dengan adanya sebuah komitmen dan kesetiaan. Keinginan saling berbagi dan memberi, saling menjaga dan mengayomi serta menerima pasangan apa adanya ia, baik dan buruknya. Karena tak ada cinta yang sempurna, yang ada hanyalah bagaimana kita menerima dan mencintai seseorang yang tak sempurna dengan cara yang sempurna.

Cinta jauh lebih dalam daripada sekedar simpati, kekaguman atau bahkan kasihan. Cinta itu berbeda dengan persahabatan, kedekatan ataupun perasaan nyaman dan kepercayaan. Memang, semua itu bisa menumbuhkan cinta, tetapi itu bukanlah cinta.

Whatever people said, cinta itu hanya bisa dirasakan dan dimengerti oleh yang merasakan. Cinta itu tak perlu didefinisikan, tetapi hanya bisa dirasakan. Cinta itu tak butuh alasan maupun penjelasan. Karena cinta hanya kan jadi cinta saja. Sesederhana itu, sekaligus juga sekompleks itu.

Jakarta, 30 September 2010

Selasa, 28 September 2010

Hanya Untuk Malam Ini

Aku pernah berjanji pada diri sendiri. tak akan lagi ada air mata yang jatuh hanya karena cinta. Karena aku sudah bosan dan lelah. Tapi ternyata, aku tidaklah sekuat yang kukira. Sekuat apapun aku berusaha, hujan itu tetap turun juga. Lagi, untuk yang kesekian kali.
Kadang aku berpikir, apakah aku memang tak pantas bahagia?atau Tuhan menganggapku terlalu tinggi hingga berkali diberi ujian-NYA?

Aku hanya ingin bahagia. Aku tak meminta banyak. Aku hanya ingin dicintai dan mencintai dengan aku apa adanya. Bukan sebuah kekaguman absurd. Bukan pula persahabatan yang dikira cinta. Apalagi sebuah permainan belaka.

Tuhan, aku hanya ingin bahagia. Apakah itu salah? Maafkan aku Tuhan kalau aku banyak bertanya. Diantara ragu dan lemah hatiku.

Aku tak pernah menyangka kalau akan sesakit ini. Dan aku belum tahu kapan ia kan sembuh lagi. Aku hanya ingin menyendiri, sendiri dalam sepi. Aku hanya ingin puas bermain air mata ini. Hanya untuk malam ini. Karena esok, aku hrs jadi orang yang berbeda, yang lebih kuat, lebih tegar. Dan karena  esok kan kusongsong hari dengan lebih optimis dan ceria.

Andai aku bisa...

The Hardest Day – The Cors ft Alejandro Sanz

Me Ire (The Hardest Day)

One more day, one last look
Before I leave it all behind
And play the role that's meant for us
That said we'd say goodbye

cuentame otra vez
si no es el mismo el sol de ayer el que se esconde hoy
para ti para mi para nadie mas se ha inventado el mar


If I promise to believe will you believe
That there's nowhere that we'd rather be
Nowhere describes where we are
I’ve no choice, I love you leave,
Love you wave goodbye

And all I ever wanted was to stay
And nothing in this world’s gonna change, change

Never wanna wake up from this night
Never wanna leave this moment
Waiting for you only, only you
Never gonna forget every single thing you do
When loving you is my finest hour
Leaving you, the hardest day of my life
The hardest day of my life

Dejame que te de cada segundo
envuelto en un atardecer de vida
para ti para mi para nadie mas se ha inventado el mar


But I never will regret a single day
Y ninguno sabia muy bien que hacer
What I'm feeling for you

aquella noche noche
I will always love you leave,
Love you wave goodbye

ieieiei este, and all I ever wanted was to stay
maldito atardecer

Nothing in this world's gonna change...

Never wanna wake up from this night
Never wanna leave this moment
Waiting for you only, only you
Never gonna forget every single thing you do
When loving you is my finest hour
I never knew I'd ever feel this way
I feel for you...

Never wanna wake up, I feel for you, from this night
Never wanna leave this moment
Wainting for you only, only you
Never gonna forget every single thing you do
When loving you is my finest hour
Leaving you, the hardest day of my life...
Never wanna wake up from this night...


Jakarta, 28 September 2010




Minggu, 26 September 2010

Karena Kita Hanya Manusia


Seorang sahabat bilang begini "menyenangkan hati semua orang adalah hal yang ideal, tetapi mustahil untuk dilaksanakan". Karena keinginan setiap orang banyak n berbeda. Bahkan terkadang bertolak belakang antara satu dan lainnya. Jadi akan mustahil kita  bisa memuaskan keinginan SEMUA orang. Dalam setiap sikap, tindakan dan keputusan yang kita ambil, seringkali tanpa sadar kita sudah mengecewakan satu pihak, dan di lain sisi menyenangkan pihak yg lain. Ini adalah masalah PILIHAN. Apa dan siapa yang kita anggap penting dan berharga untuk diperjuangkan dan dahulukan kebahagiaannya?

"Kita tidak mungkin memuaskan keinginan semua orang. Yang terpenting adalah bagaimana kita berusaha membahagiakan orang-orang yang kita sayang serta memperjuangkan hal-hal  yang kita anggap penting dan berharga".

Buat apa kita membahagiakan seluruh dunia kalau kita sendiri tak bahagia? Percuma saja kita menyenangkan hati semua orang kalau  kita gagal menyenangkan orang-orang terpenting dalam hidup kita? Sia-sia saja meraih pujian seluruh manusia kalau kita tak bisa memperjuangkan hal-hal yang penting dan berharga buat kita.

Ini hanyalah opini pribadi saya. Mungkin terkesan egois dan egosentris. Tapi  inilah saya. Saya tak mau munafik dan naif. Dan karena saya hanya manusia biasa.

Jakarta, 26 September 2010

Senin, 20 September 2010

Karena Perempuan Berjilbab Juga Manusia (Sebuah Review Atas Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan (Melepas) Jilbab, By: Juneman)


Sebuah buku dengan judul yang cukup provokatif dan unik. Jarang sekali ada buku yang membahas fenomena kenapa seorang perempuan memilih melepas jilbabnya.

Ini adalah sebuah kajian dari hasil penelitian ditinjau dari sisi ilmu psikologi. Ini bukanlah buku agama. Jadi, jangan heran kalau dalam pembahasannya sangat sedikit sekali membahas dari sisi agama.

Baru membaca seperlima bagian buku ini sudah membuat saya geregetan. Apalagi jilbab biasanya diidentikan dengan agama tertentu (baca : Islam). Umumnya masyarakat Indonesia menganggap jilbab sebagai suatu kewajiban dalam beragama. Jadi ketika dikatakan kalau jilbab adalah bagian dari fashion, style atau apapunlah itu akan sedikit “menyentil” komunitas dan orang tertentu. Ketika agama dan kepercayaan menjadi sesuatu yang “sensitif” untuk dibahas apalagi diperdebatkan, pastinya hal itu akan memancing banyak perdebatan dan kontroversi. Tapi terkadang, saya suka sesuatu yang kontroversial :D

Buku ini menceritakan tentang empat orang subyek, yaitu Tari, Intan, Wina dan Lanni yang pernah mengenakan jilbab namun akhirnya melepas jilbabnya.

1. Subyek Pertama (Tari) : Jilbab Sebagai Pilihan Busana

Tari pertama kali memakai jilbab saat duduk di bangku SMA. Di sekolahnya ia banyak bergaul dengan para anggota kerokhanian Islam (Rohis) yang sedikit banyak mempengaruhi pola pikir dan pandangannya akan agama dan Jilbab. Ia tidak pernah melepas jilbabnya, menghindari musik, televisi, dan sebagainya. Ia juga cukup aktif berdakwah. Saat menginjak bangku kuliah, Tari semakin mantap untuk berjilbab.

Ketika menginjak tahun kedua, Tari mulai berpacaran dengan seorang pria. Pergaulan dengan mahasiswa AINI dan pengaruh pacarnya membuat Tari memikirkan ulang tentang jilbabnya. Titik kritis terjadi saat pemilihan ketua divisi keputrian di kampusnya. Saat itu, issue yang beredar adalah ketua keputrian mushola haruslah yang jilbabnya besar. Hal ini memancing krtisi internal di dalam diri Tari, “Apakah perempuan hanya bisa dinilai dari seberapa lebar jilbab yang dipakainya? Bukan dari pikiran atau dirinya sendiri?”

Lulus kuliah dan bergabung di sebuah LSM keperempuanan (Afina Riskana) membuat Tari banyak bergelut dan berdiskusi tentang issue-issue keperempuanan, termasuk masalah jilbab. Hingga Tari sampai pada satu kesimpulan, kalau jilbab adalah busana, bagian dari budaya. Jilbab bukanlah sebuah ajaran agama dan bukanlah menjadi suatu kewajiban buat setiap perempuan muslim. Jilbab memang menjadi identitas muslimah, akan tetapi lebih kepada sebuah simbol.

Keputusannya melepas jilbab tidak serta merta membuatnya mengambil sikap bertolak belakang terhadap jilbab. Menurutnya, jilbab adalah bagian dari busana, fashion, simbol serta budaya. Ia masih mungkin memakai jilbab kembali dengan alasan dan tujuan tertentu yang sifatnya lebih politis dan bukan teologis.

2. Subyek Kedua (Intan) : Orang yang Berjilbab adalah Orang yang Gagal Trust Terhadap Orang Lain

Intan yang berasal dari keluarga pluralistik dan hanya menekankan Shalat sebagai satu-satunya kewajiban mulai “tertarik” memakai jilbab saat duduk di bangku SMP. Kala itu, guru agamanya banyak “menebarkan rasa takut” akan Tuhan dan agama. Ancaman kalau wanita yang tidak menutup auratnya dan tidak mengenakan jilbab di neraka nanti payudaranya akan digantung kemudian dibakar sampai bernanah. Ini menjadi titik balik buat Intan yang membuatnya berkeinginan memakai jilbab. Apalagi saat sepupu terdekat Intan memutuskan untuk memakai jilbab.

Intan memakai jilbab tertutup sekitar dua tahun sampai saat ia berpacaran dengan seorang aktivis politik. Walaupun sang pacar tidak secara langsung memintanya melepas jilbab, tetapi diskusi panjang di antara mereka membuat Intan mempertanyakan kembali jilbabnya. Bertahap, Intan mulai menanggalkan jilbabnya hingga akhirnya melepasnya. Pararel dengan itu, terjadi pergeseran pemahaman dan pemaknaan keagamaan dalam diri Intan. Ia mulai mempelajari ajaran agama lain serta mempertanyakan ibadah, dosa-pahala, takdir serta berbagai hal lainnya.

Intan kemudian dengan sang pacar yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pikirnya. Sang mantan pacarnya tersebut malah menikah dengan wanita rohis berjilbab besar. Hal ini menimbulkan kekecewaan yang besar dalam diri Intan. Perlahan, timbul sinisme dan sentimen negatif agama dalam dirinya. Secara ekstrem, bahkan Intan menganggap bahwa perempuan yang memakai jilbab adalah orang yang gagal trust terhadap orang lain.

3. Subyek Ketiga (Wina) : Melepas Jilbab untuk Berjilbab Kembali.

Winna memakai jilbab saat SMA setelah mengikuti basic training sebuah perkumpulan remaja islami. Namun baru memakai jilbab setealh bergabung di organisasi Mahasiswa Islam NMI. NMI adalah organisasi yang sangat berperan dalam pengembangan karakternya.

Sejak memakai jilbab, jilbab Wina tertutup rapat. Karena menurutnya menutup aurat tidak bisa setengah-setengah. Hingga suatu ketika Wina mengalami insiden kritis dalam bidang seksual dengan sang pacar. Wina akhirnya melepaskan jilbabnya karena ia merasa belum cukup pantas mengenakan jilbab dan tidak bisa mempertanggungjawabkan jilbabnya di lingkungan dan di mata Tuhannya.

Wina terus melakukan upaya pencarian diri, hingga beberapa tahun kemudian setelah mengalami “mimpi religius”, Wina memakai kembali jilbabnya yang ternyata hanya sementara. Beberapa waktu kemudian Wina kembali melepas jilbabnya karena ia masih banyak terlibat gossip, intrik dan “politik tertentu” yang kurang sehat. Lagi-lagi karena ia merasa kurang pantas untuk berjilbab. Saat ini, Wina terus melakukan upaya pencarian diri dan tetap berniat untuk kembali berjilbab.


4. Subyek Keempat (Lanni) : Jilbab Belum Sejatinya Mencerminkan Diriku.

Berbeda kisah antara Tari, Intan dan Wina. Begitupun dengan yang terjadi pada Lanni. Lanni memutuskan memakai jilbab pada usia 37 tahun. Setelah mengalami tekanan sosiopsikis dan hampir membuatnya putus asa, Lanni memilih lari ke jilbab dan agama dengan maksud untuk menenangkan hati.

“waktu gw akhirnya putuskan pakai jilbab, gue waktu itu ufah putus asa, tidak ada cowok yang mau ama gue. Mending ditutup aja segala keindahan gua.”

Lanni mengenakan jilbab atas anjuran seorang laki-laki yang ia cintai saat itu. Namun, di saat hubungannya dengan laki-laki itu menjadi tidak penting lagi, Lanni sudah mulai mencoba melepas jilbabnya. Diawali dengan kedatangan temannya dari Belanda di saat bulan puasa. Karena merasa tidak nyaman, suatu sore ia melepas jilbabnya. Lanni melepas jilbab karena ia merasa kalau jilbab tidak sesuai dengannya dan tidak mencerminkan dirinya.

Serentet Tanya Buat Penulis

Empat orang perempuan dengan empat latar belakang, empat alasan, empat pengalaman, empat pandangan, empat penjelasan, dengan satu keputusan: melepaskan jilbab yang telah mereka pakai.

Sebuah penelitian yang masih terbilang baru dan cukup berani. Karena setahu saya belum pernah ada penelitian mengenai fenomena perempuan yang melepas jilbabnya, apalagi dipandang dari sudut pandang ilmu psikologi.

Yang lantas menjadi pertanyaan saya adalah “Mengapa penulis memilih keempat orang subyek tersebut?” apakah yang menjadi dasar pertimbangannya. Karena kalau merujuk pada penjelasan awal penulis “Empat muslimah yang ditampilkan pengalaman fenomologisnya dalam buku ini dipilih oleh penulis (purposif) dengan kriteria tertentu, yaitu perempuan Indonesia yang telah mengenakan jilbab selama minimal dua tahun berturut-turut “ (Juneman, 2010:120). Kalau mengacu pada kalimat ini, satu-satunya yang mendasari pemilihan subyek hanyalah jangka waktu subyek memakai jilbab, yaitu minimal dua tahun. Menurut saya, penjelasan ini masih tidak memberikan gambaran secara jelas alasan pemilihan subyek. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomologis-subyektif. Dengan istilah “subyektif” yang dimaksud adalah bahwa pendekatan metodis ini mengungkap data dari perspektif subyek yang diteliti (Poerwandari dalam Juneman, 2010: 113). Dengan pendekatan subyektif ini, faktor pemilihan subyek akan sangat mempengaruhi hasil penelitian.

Yang tidak saya habis pikir adalah kenapa kok bisa ya, (secara kebetulan?) empat orang subyek memiliki skala orientasi religius menurut Allport (Briglass dalam Juneman, 2010) yang berbeda-beda. Mulai dari indiscriminately anti-religius type (pada Tari), indiscriminately pro-religius type (pada Intan), intrinsic type (pada Wina) dan extrinsic type (pada Lanni). Sebuah kebetulan yang disengaja? Yang jadi pertanyaan saya selanjutnya adalah bahwa penulis tidak menjelaskan lebih detail berapakah sampel yang diambil? Apakah dalam proses penelitiannya penulis mengambil banyak sampel/ subyek, lantas hanya menjabarkan empat kasus diantaranya untuk menggambarkan beragam variasi tipe skala orientasi religius terhadap keputusan subyek untuk melepas jilbabnya? ataukah memang penulis hanya mengambil empat subyek, dan (kebetulan) keempat subyek tersebut memiliki skala orientasi religius yang beragam, tidak ada yang sama satu dan lainnya. Kalau memang iya, sungguh suatu kebetulan yang luar biasa.

Ini memang buku psikologi dan bukan buku agama. Jadi, teori-teori yang menjadi dasar penelitian dan penulisan buku ini adalah teori-teori psikologi. Dan kalaupun ada teori atau referensi agama yang digunakan, lebih banyak menggunakan sudut pandang Islam moderat, bahkan (mendekati) Islam liberal yang memang cukup longgar dalam memaknai hukum pemakaian jilbab dalam agama Islam. Kenapa tidak mengambil referensi yang lebih beragam? Hal ini mengundang pertanyaan lebih lanjut buat saya. Apakah ada tendensi tertentu yang mempengaruhi dan mendasari penelitian dan penulisan buku ini? Padahal dalam metode penelitian fenomologis, peneliti harus bersikap netral, tidak berpihak ataupun berlawanan dengan fenomena yang ada. Kalau ternyata ada tendensi, itu akan merusak keseluruhan penelitian. Secara sekilas, kalau dilihat dari teori-teori yang dijadikan dasar dan referensi penelitian dan penulisan buku ini, menurut pendapat saya pribadi, saya melihat “sepertinya ada kecenderungan dan tendensi tertentu” untuk mendukung fenomena perempuan melepas jilbab.

Perempuan Berjilbab Juga Manusia

Terlepas dari beberapa hal tersebut di atas, membaca kisah empat orang perempuan dalam buku ini sedikit banyak memberikan gambaran tentang fenomena perempuan melepas jilbab di Indonesia.

Kalau ingin menelaah mengenai alasan perempuan melepas jilbab, sebaiknya kita telusuri dulu apakah yang menjadi alasan awal seseorang memakai jibab (sebelum melepasnya)? Melihat pada kasus empat orang subyek, dua diantaranya (Tari dan Intan) memakai jilbab awalnya karena faktor “ketakutan akan surga-neraka’ yang disebarkan oleh lingkungan sekitar, seorang karena faktor kesadaran pribadi (Wina) dan seorang lagi karena putus asa lantas menjadikan agama dan jilbab sebagai pelarian (Lanni). Dari sini terlihat bahwa sebagian besar alasan (tiga dari empat) lebih kepada faktor eksternal, dan bukan dari kesadaran pribadi subyek untuk memakai jilbab. Dan faktor ketakutan menjadi alasan dominan mereka.

Memang, saat ini masih banyak masyarakat kita yang menggunakan “ancaman” surga-neraka serta imbalan pahala-dosa untuk “mendorong” orang beribadah. Seakan-akan beribadah tak ubahnya sebuah niaga antara manusia dan Tuhan. Ibadah direndahkan menjadi hitung-hitungan timbangan antara amal dan maksiat manusia. Seakan-akan Tuhan bukanlah Maha pengasih, tetapi Tuhan yang Maha Kejam, penghukum dan pendendam. Tuhan digambarkan sebagai suatu entitas dengan cambuk dan sisi menyeramkan di satu sisi, dan dengan hadiah dan keindahan di sisi satunya lagi. Padahal sesungguhnya tidaklah begitu. Mungkin, pendekatan semacam ini bisa diterapkan pada anak-anak yang pehamannya masih simple tentang hidup. Tetapi hal ini tidak bisa diterapkan pada orang-orang dewasa yang sudah bisa berfikir secara logis. Karena ini akan menimbulkan konflik dan gamangnya “pondasi” seseorang. “Ketakutan” menjadi sebuah alasan yang tidak cukup kuat bagi seseorang untuk beribadah, termasuk juga dalam memakai jilbab. Karena hal itu akan dengan mudah digoyahkan oleh akal, naluri maupun logika dan ego manusia serta kondisi eksternal seseorang. Hal inilah yang menurut saya terjadi pada tiga orang subyek tersebut.

Mengenai alasan para subyek melepas jilbabnya, saya kembali “dikejutkan” pada fakta bahwa hampir semua subyek melepaskan jilbabnya karena ada pengaruh dan faktor laki-laki (baik secara langsung ataupun tidak). Tari yang terpengaruh pacarnya serta diskusi-diskusi kritis dengan pacarnya tersebut membuat Tari memikirkan ulang tentang jilbabnya. Begitupun yang terjadi dengan Intan. Dalam kasus Intan ditambah lagi dengan putusnya hubungan Intan dengan sang pacar yang malah memilih untuk menikahi wanita berjilbab besar. padahal selama ini sang pacarlah yang banyak mendorong Intan untuk melepas jilbabnya. Kondisi ini turut mempengaruhi sikap Intan terhadap jilbab selanjutnya yang cenderung sinis dan anti jilbab.

Pada kasus Wina, berbeda lagi. Insiden dalam bidang seksual dengan sang pacar membuatnya merasa kurang pantas untuk memakai jilbab dan lantas melepasnya. Pada kasus Lanni, sejak awal ia terdorong untuk memakai jilbab juga karena faktor laki-laki. Jadi ketika hubungannya dengan pria tersebut tidak lagi dianggap penting, Lanni tergoda untuk mulai melepas jilbabnya. Kenyataan yang terjadi pada empat orang subyek ini membuat saya bertanya lagi. “Kenapa lagi-lagi karena pria? Sedemikian besarnyakah dampak seorang pria terhadap keputusan seorang perempuan terkait masalah jilbabnya?” Haloo… kemanakah pendirianmu wahai para perempuan?? Geleng-geleng kepala saya dibuatnya. Lagi-lagi saya mempertanyakan alasan penulis dalam pemilihan subyek. Karena menurut saya masih banyak sekali alasan seorang perempuan dalam memutuskan untuk memakai dan atau melepaskan jilbabnya, dan itu tidak melulu terkait dengan pria seperti pengalaman saya pribadi dan orang-orang sekitar saya.

Yang cukup mengusik saya adalah subyek kedua (Intan) dan ketiga (Wina). Pada kasus Intan, pengalamannya, terutama pasca ditinggal menikah pacarnya (yang malah menikahi wanita Rohis berjilbab besar) membuat Intan jadi bersikap sinis dan anti jilbab. Padahal, saat berjilbab, ia termasuk aktif cenderung ekstrim dalam beragama. Seperti yang terjadi pada Tari, Intan juga bisa dengan mudahnya menilai orang dari penampilan luarnya saja. Bisa dengan mudah “mengkafirkan” oranghanya karena ia berjilbab atau tidak. Dan sebaliknya, saat Intan sudah tidak berjilbab, ia juga dengan ekstrim dan sinis menentang jilbab. Mengutip kalimat Intan“bahwa perempuan yang memakai jilbab adalah orang yang gagal trust terhadap orang lain”. Statement ini terus terang membuat saya “tersedak”. Saya merasa “disinggung”. Sampai saat ini, saya memakai jilbab, tetapi saya tidak merasa kalau saya mengalami gagal trust terhadap orang. “Haloo… jangan suka sembarangan ambil kesimpulan ya mbak. Mungkin mbak memang punya pengalaman sendiri, dan saya bisa maklumi, pun jua saya juga tidak menjudge atas keputusan siapapun yang memilih untuk memakai atau melepaskan jilbabnya” Karena buat saya, itu adalah hak setiap orang. Karena semua hal yang terkait masalah agama dan kepercayaan itu murni pilihan dan hak asasi setiap orang yang tidak dapat diganggu gugat ataupun dicampuri oleh orang lain. “Kalau mbak mau melepas jilbab terserah itu hak anda, tetapi jangan lantas bersikap sinis bahkan anti terhadap jilbab dan agama. Kalau anda tidak suka dijudge, maka jangan juga suka menjudge pihak lain”. Statement satu itu sungguh membuat saya geregetan. Seseorang yang tadinya ekstrim “membela” jilbab dan agama serta Tuhan, malah kemudian berbalik menjadi seseorang yang sinis dan anti terhadap jilbab dan agama – dengan sama ektrimnya. Ironis.

Di lain sisi, bisa jadi perubahan sikap yang sangat bertolak belakang yang terjadi pada diri Intan merupakan bentuk “pertahanan diri” dan sikap defensifnya terhadap pengalaman buruk serta respons orang-orang sekitar terhadap keputusannya melepas jilbab. Seperti tembok ada aksi dan reaksi.

Mengenai subyek ketiga (Wina), saya tertarik pada keputusannya yang bolak-balik antara memakai dan melepas jilbabnya. Wina yang memiliki latar belakang agama cukup baik serta alasan awal pemakaian jilbab yang tidak berasal dari luar (internal) beberapa kali memutuskan memakai terus melepas kembali jilbabnya. Yang menjadi dasar keputusannya untuk melepas jilbab adalah karena ia merasa belum pantas untuk memakai jilbab dan merasa belum dapat mempertanggungjawabkan jilbabnya di mata Tuhan dan lingkungan sekitar. Begitupun yang terjadi dengan Lanni yang merasa kalau jilbab bukalah sejatinya dirinya sendiri.

Satu hal menggeitik saya “ Kriteria apa yang digunakan untuk menilai pantas atau tidaknya seseorang untuk memakai jilbab?” Karena di Indonesia, jilbab dijadikan sebagai simbol perempuan muslim. Secara lebih khusus digambarkan bahwa perempuan berjilbab adalah orang yang baik hati, takwa, ramah tamah, tidak sombong, tidak suka menggosip, rajin menabung, tidak suka membuang sampah sembarangan. etc. Sempurna dan dasa darma pramuka gitu dech. “Apakah memang benar seperti itu dan harus seperti itu?”

Ketika suatu simbol dan budaya diidentikan dengan agama inilah yang terjadi. Apa yang terjadi dan dilakukan oleh simbol akan selau dikaitkan dengan agama.

Sebaiknya setiap manusia menjaga tingkah lakunya. Ini berlaku untuk semuanya tidak hanya perempuan, dan tidak hanya perempuan berjilbab. Menurut saya, jangan sampai image ‘kesempurnaan” seorang perempuan berjilbab membatasi seseorang untuk mengenakan jilbab. Karena faktor merasa tidak pantas. Siapa sih yang bisa menilai “kepantasan” itu? Karena yang berhak menilai iman dan nilai seorang manusia hanyalah Tuhan dan bukan manusia. Kalau kita menunggu “kepantasan” itu akan sampai kapan? Walaupun tidak juga seseorang bisa bebas bertingkah laku – dengan atau tanpa jilbab-. Dalam kondisi jilbab sebagai symbol, jilbab bisa menjadi “social control” dan “self control” buat seseorang untuk menjaga tingkah lakunya. Akan tetapi jangan sampai terjebak pada simbol semata. Karena nilai seseorang tidak bisa hanya dilihat dari apa yang terlihat di luar, termasuk juga pakaiannya – berjilbab atau tidak-. Yang menentukan nilai seseorang di mata Tuhan adalah “iman” dan “takwa”nya. Termasuk juga hubungannnya baik itu secara vertikal maupun horizontal terhadap sesama manusia). Hanya Tuhan yang berhak untuk menilai, manusia tidak. Jadi, jangan terjebak pada simbol ataupun stigma. Juga tidak lantas dengan serta merta bertindak “bebas nilai” karena aturan itu ada untuk mengatur hidup manusia agar lebih terarah.

Lagi-lagi pendapat pribadi saya, jilbab buat saya adalah sebuah kebutuhan, paling tidak buat saya hingga detik ini. Keputusan apakah seseorang akan memakai atau tidak atau bahkan memakai kemudian melepasnya itu adalah hak pribadi masing-masing. Kalau memang merasa butuh dan nyaman, pakailah, tetapi kalau tidak itu adalah hak anda sebagai manusia dewasa yang tahu mana yg baik atau buruk dan yang harus siap dengan segala konsekuensinya. Di lain sisi, janganlah menjudge seseorang hanya dari apa yang tampak di luarnya, jangan terjebak simbol ataupun stigma. Tidak berarti seseorang yang tidak berjilbab itu iman dan nilainya lebih rendah daripada yang berjilbab, begitupun sebaliknya. Perempuan berjilbab tidaklah berarti perempuan yang sempurna tanpa noda. Karena perempuan berjilbab juga manusia 

Jakarta, 18 September 2010

Rabu, 15 September 2010

Tembok Itu




Dulu, kuhanya bisa melihat gedung itu dari jauh, tanpa bisa kutahu apa isi di dalamnya. Sebuah gedung kokoh, tak tersentuh. Tapi entah mengapa kutergoda untuk tahu apa isinya. Seiring berjalannya waktu, jarak antara aku dan gedung itu semakin dekat. Yang tadinya hanya bisa kulihat dari jauh, mulai bisa kuintip apa di dalamnya. Perlahan, bertahun. Aku mulai diijinkan berkunjung masuk ke pelataran gedung itu. Tembok- tembok kukuh itu mulai membukakan pintu gerbang halamannya untukku, walau tidak setiap waktu.
Aku terlena. Mabuk gembira. Kupikir aku cukup dekat hingga bisa bisa masuk ke dalam gedungnya, tak hanya pelataran saja. Namun ternyata aku salah. Pintu gedung itu tetap tertutup saat kuketuk. Aku tak diijinkan masuk. Aku sedih. Aku hancur. Memang kusadari aku terlalu berani untuk mengetuk pintu utamanya. Tanpa kusadari apakah si empunya menginginkanku atau tidak. Mengijinkanku atau tidak. Aku jadi seperti tak tahu diri. Lantas aku mundur. Untuk sementara, tak berani kudekati gedung itu, bahkan hanya untuk main di halamannya. Aku takut terlena lagi. Aku takut keinginan lamaku untuk masuk ke dalamnya muncul lagi. Aku takut kecewa lagi.
Sampai beberapa lama, akhirnya keberanian itu muncul kembali. Kubuka kembali jalanku menuju gedung itu. Tanpa niat untuk masuk ke dalamnya. Tanpa terbesit keinginan untuk menjadi tamu tetap ataupun penghuninya. Aku hanya ingin berkunjung sesekali sebagai tamu dan sahabat, itu saja. Karena di waktu yang sama telah kutemui gedung lain yang ingin kumasuki. Yang membuatku jatuh hati.
Tetapi entah kenapa, tanpa sadar aku terseret kembali ke dalam gedung lama itu. Apalagi setelah kubatalkan niat dan minatku akan gedung yang baru, kembali kukunjungi rutin halaman gedung itu. Seperti tertarik, seperti terikat aku tak bisa lari dan selalu kembali ke sana – gedung itu. Hingga tiba-tiba si empunya malah mengundangku untuk masuk ke ruang di dalam gedungnya. Sesuatu yang sempat membuatku kaget, shock dan keheranan dibuatnya. Tapi aku tak bisa menolak ketika si empunya memintaku untuk menjadi penghuni di dalamnya.
Keinginan lama yang telah kukubur dalam bangkit lagi. Mimpi lama yang telah kuanggap selesai muncul kembali. Seperti ditekan tombol “ON” nya, semua masa lalu dan rasa itu hadir kembali. Tanpa bisa kukendalikan lagi. Tanpa bisa kuhentikan. Aku terlena kembali. Tetapi kali ini lebih parah, aku tak hanya terlena, aku juga terpedaya. Tak lagi kulihat dunia di luar sana. Aku hanya ingin tetap ada di sini, di dalam gedung itu.
Tetapi nyatanya.. semakin lama aku tetap merasa asing. Di dalam gedung itu masih banyak terdapat tembok-tembok lagi. Sekat di mana-mana. Tirai di segala penjurunya. Seperti sebuah labirin sesat yang berkelok. Tak mampu kutembus. Tak mampu kuungkap. Tanya itu datang merajam “ apakah pemilik gedung benar-benar telah mengijinkan aku masuk ke dalam gedungnya? Menginginkan aku tinggal di dalamnya? Mengisi ruang-ruang di dalamnya? Apakah memang benar aku yang diinginkannya untuk menjadi penghuni tetap didalamnya? Ataukah… aku hanya sekedar penghuni sementara? Atau bahkan tamu yang menginap? Karena aku tetap merasa asing, tak leluasa. Aku tak yakin apakah pemilik gedung benar-benar menginginkanku untuk tinggal atau tidak? Pun aku juga jadi tak yakin apakah aku ingin jadi penghuni tetap di dalamnya atau tidak? Ragu itu datang menggentayang. Menyebar, merajalela tanpa ampun. Aku tak tahu dan belum kutemui jawabnya.
Yang kutahu hanyalah, walaupun saat ini aku masih ingin di sana. Aku masih belum yakin sampai kapankah aku diijinkan berada di sana. Karena tembok dan sekat itu terlalu kuat membatas. Kokoh tak tertembus. Seperti membentuk pertahanan sendiri. Seperti tak sudi kujamahi, tak rela kudatangi. Aku bingung. Ketika kutanya tembok-tembok itu hanya bisa diam, bisu tanpa suara. Yang kuhadapi hanya tembok  beku dan kaku  yang dinginnya mampu membekukanku. Tapi di lain sisi, aku tahu pasti kalau tembok itu sangatlah peka. Ketika kau menekannya, dia akan membalasmu dengan kekuatan yang sama. Ketika kau menyentuhnya dengan lembut, kau juga akan merasakan kelembutan yang sama. Aksi-reaksi.  
Aku ragu, aku gamang. Tersesat tak tahu arah. Aku ingin masuk lebih jauh tapi tak kuasa. Tapi di lain sisi, ku tak tahu arah pintu keluarnya. Dan aku masih belum mau keluar dari sana:. Karena aku masih sayang, karena aku masih cinta . Ternyata… aku masih cinta labirin dan penjara.

Tentang Rasa
Astrid

Aku tersesat
Menuju hatimu
Beri aku jalan yang indah
Ijinkan ku lepas penatku
‘tuk sejenak lelap di bahumu

Dapatkah selamanya kita bersama
Menyatukan perasaan kau dan aku
Semoga cinta kita kekal abadi
Sesampainya akhir nanti selamanya
Tentang cinta yang datang perlahan
Membuatku takut kehilangan
Ku titipkan cahaya terang
Tak padam di dera goda dan masa


Jakarta, 15 September 2010

Khusus Dewasa!! (Assikalaibineng : Kitab Persetubuhan Bugis By: Muhlis Hadrawi)

Buku limpahan dari orang baik hati yang lagi bersih-bersih rak buku.

Pertama kali tahu buku ini dari review Bung Ronny (http://www.goodreads.com/review/show/104871834) yang akhirnya bikin penasaran banyak orang (termasuk saya). Apalagi ada tulisan "khusus dewasa" di cover bukunya. Khusus buat 25thn ++ Makin bikin penasaran. Wuakkk :D

Berhubung buku ini terbitan penerbit lokal nun jauh di Makassar sana – Inninawa- . Agak sulit mencari buku ini di Jakarta. Kebetulan, beberapa waktu lalu saya "dilempar" dan terdamparlah saya di kota Makassar. Saat ketemu dengan M Nila anggota GRI Makassar yang juga kebetulan satu kantor sama saya, beliau memberikan saya buku ini dan beberapa buku lainnya. Heuh heuh heuh senangnya… jadi untuk sementara gak perlu belanja buku lagi ^^ *sedih mengingat banyak buku yang belum kebaca di Jakarta, tapi terlalu malas untuk dibawa pindah ke mana-mana *. @ M Nila. Tq so much yak. Sering-sering aja bersih-bersih rak buku. Ho3x :D *ngarep.com*

Patricks yang tahu kalau saat itu saya sedang berada di Makassar mewanti-wanti untuk :hunting” buku ini. Usut punya usut, ternyata penerbitnya berlokasi tidak jauh dari lokasi kantor saya di sana. Setelah sempat nyasar dan muter-muter karena alamat penerbit yang kurang jelas, akhirnya sampai juga saya di TKP.

Begitu masuk halaman rumah (baca: kantor) penerbit, mata saya langsung tertuju pada rak buku di depannya. Sebuah rak buku yang penuh buku-buku “antik” (at least buat saya), karena baru saat itu pertama kali lihat atau mendengar judulnya. Penuh-buku-buku jadul atau agak jadul dan penelitian. Sebagian besar terkait budaya – budaya masyarakat Sulawesi khususnya - . Mulai dari kisah La Galigo, adat Bugis, Toraja, dsb. Langsung saja, mata jelalatan melototin buku-buku itu. Tangan “geratil” buka halaman-halamannya. Untungnya naluri “Klepto buku” yang sempet kumat bisa ditahan :D Karena si mas-mas penjaganya keburu datang. Setelah ngobrol ngalor ngidul, akhirnya saya membawa pulang beberapa exp buku ini plus buku-buku lainnya (laper mata euy).

Pertama kali buka buku ini, lantas skimming isinya, kalimat pertama yang muncul di otak saya adalah “Oh My Gosh”, ini beneran buku buat orang dewasa. Penuh dengan detail-detail dan ritual persetubuhan ala orang Bugis. Dilengkapi juga dengan gambar-gambar dan bagan. Buru-buru saja saya tutup buku itu, gak berani lanjut baca. Belum siap mental, takut kepingin, Bisa gaswat. Wuakk :D

Sekembalinya saya ke Jakarta bulan Juni lalu, buku ini kubawa tetap dalam kondisi “tak terselesaikan”. Sampai pertengahan Agustus lalu buku ini masih “mejeng dengan menggoda” di rak buku di kostan. Sampai akhirnya, di malam-malam bulan Ramadhan yang sepi, karena lagi “cuti ibadah” dan gak tau harus ngapain. Plus kehabisan stok bahan bacaan di kostan, say abaca juga deh buku ini. selesai dalam waktu singkat, malam itu juga finish. Dasar parah, klo baca buku lain lama, giliran baca yang model begini bisa cepet selesai :P

Mengenai isi bukunya..hmm…hmm…. gimana ya? No comment lah. Intinya, ini buku panduan khusus bagi orang dewasa, aki-aki juga bolehlah. Apalagi aki-aki yang gak bisa kelimax :D. Jadi buat ABG yang belum dewasa dan belum jaduls, maganger yang masih polos atau sok polos, dilarang keras baca buku ini. Karena berbahaya buat kesehatan anda. Tapi kalo tetep nekad …resiko tanggung sendiri ya :D