Pages

Tampilkan postingan dengan label My Fiction. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label My Fiction. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Oktober 2010

Karma


Akhirnya, aku bisa mendapatkannya. Wanita cantik yang membuatku jatuh hati sejak pandangan pertama. Gea Amalia namanya. Aku berkenalan dengannya baru beberapa hari yang lalu. Dan sejak itu, kami selalu membuat janji. Di malam hari, sepulangku dari kantor kami rutin bertemu di rumahmu.

Jutaan kata-kata gombal dan jurus rayu. Akhirnya mampu membawamu ke pelukanku, ke atas ranjangku. Malam yang luar biasa. Mistis sekaligus romantis dan erotis. 

Aku tersenyum durjana. Dalam hati aku berkata "wanita bodoh ini telah mampu kuperdaya. Dia tidak tahu kalau setelah ini aku akan meninggalkannya seperti sampah. Seperti yang telah kulakukan pada puluhan atau entah ratusan wanita lainnya".
Aahh.. hasratku terpuaskan sudah. Sekarang aku ingin tidur lelap untuk mnyiapkan strategi pengelakkanku selanjutnya. Sama seperti biasanya. 

Pagi harinya ku buka mata. Samar, bisa kucium aroma embun dan bau tanah merah. Tiba-tiba badanku menggigil. Perlahan ku buka mata. Di atasku terlihat dahan dan ranting pohon kamboja. Ku edarkan pandangan ke skeliling. Nampak di depanku sebuah batu nisan. Satu nama tertulis di sana

GEA AMALIA
2 Feb 1970 - 13 Juli 1990

Sabtu, 23 Oktober 2010

JANJI


Sayang, ingatkah kau dulu ketika kita pertama kali jadian? kita berjanji akan bersama selamanya. Dalam suka maupun duka. 

Honey, ingatkah dulu ketika aku bertanya bagaimana kalau aku meninggalkanmu. Kau bilang kalau kau tak akan bisa hidap tanpa aku. Katamu, hidup tanpa aku di sisimu bukanlah hidup bagimu.

Cinta, ingatkah dulu kau pernah berkata akan mencintaiku selamanya. Dan aku akan selalu jadi satu-satunya.

Kekasihku, kini aku menagih janjimu ‘tuk setia dan selalu bersama. Karena aku sepi tanpamu di sini. Mari ikutlah aku, sayang. Ikut aku tinggalkan dunia fana menuju barzah keabadian.

Jum'at, 13 januari xxxx. Rangga aditya-pria berusia 28 thn dtemukan tewas di kamarnya. Tim otopsi kepolisian melaporkan bahwa di leher pria yang akan menikah lusa ini ditemukan bekas cekikan. Saat ini polisi masih menyelidiki sebab-sebab kematian pria tersebut.

Balikpapan, 231010

KIRANA


Untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun terakhir ini, aku menjejakkan kaki lagi di kota ini. Sebuah kota kecil tempat aku lahir dan dibesarkan. Dalam memoriku, kota ini tak bisa dilepaskan dari satu nama “Kirana”. Kirana adalah sahabatku sejak kecil. Sosok seorang gadis manis dan periang yang senantiasa mengisi hari-hariku dari kecil hingga menjelang dewasa.

Rasanya baru kemarin, ketika aku memutuskan untuk pergi demi meraih cita-cita. Rasanya baru kemarin, ketika Kirana mengungkapkan semua perasaan dan cintanya. Rasanya baru kemarin, ketika dengan dingin kutepis tangan mungilnya yang kala itu ingin memelukku. Menahanku agar mengurungkan niat dan kepergianku. Rasanya baru kemarin ketika tanpa perasaan aku pergi begitu saja meninggalkannya dalam hancur dan sepi juga tanpa kabar maupun berita.

Tahukah kau Kirana, kala itu aku tak mengijinkanmu memelukku. Karena aku tahu, kalau itu terjadi, aku tak’kan sanggup pergi. Tahukah kau, kalau aku tak pernah menoleh ke belakang ataupun mengabarimu lagi Karena itu akan membuatku goyah tuk meraih cita-cita. Karena itu akan membuatku teringat lagi padamu yang akhirnya membuatku tak bisa focus dalam meraih mimpi dan cita-cita? Tahukah kau Kirana? Kalau aku pergi demi masa depan kita? Aku pergi agar mampu membuatku bangga dan bahagia? Aku pergi agar aku bisa menjadi penjagamu selamanya?

Dan kini, setelah beberapa tahun berlalu aku kembali untuk menjemputmu. Aku kembali demi menjemput impianku ‘tuk hidup bersama denganmu. Aku datang ‘tuk memintamu untuk menjadi pengantinku, pendamping hidupku hingga ajal menjemput salah satu dari kita.

Bergegas kulangkahkan kaki menuju kediamanmu. Sesampainya di sana kulihat ramai oleh warga dan tetangga. Terlihat janur kuning terhias di sana. Jantungku berdentam, hatiku bertanya “ada apa?” Langsung saja kumasuk ke dalam rumah. Kulihat di sana Kirana tampak cantik dan bahagia dalam kebaya dan kerudung putihnya. Disampingnya terlihat duduk seorang pria dalam pakaian pengantin pria. Mereka baru saja melangsungkan akad nikah.

Duniaku serasa berhenti berputar saat itu juga

Balikpapan, 231010

Inspired By: 25 Minutes – Michael Learn To Rock (MLTR)

After some time I've finally made up my mind
she is the girl and I really want to make her mine
I'm searching everywhere to find her again
to tell her I love her
and I'm sorry 'bout the things I've done

I find her standing in front of the church
the only place in town where I didn't search
She looks so happy in her weddingdress
but she's crying while she's saying this

Chorus:
Boy I've missed your kisses all the time but this is
twentyfive minutes too late
Though you travelled so far boy I'm sorry your are
twentyfive minutes too late

Against the wind I'm going home again
wishing me back to the time when we were more than friends


But still I see her in front of the church
the only place in town where I didn't search
She looked so happy in her weddingdress
but she cryed while she was saying this

Chorus: Boy I've missed your kisses all the time but this is
twentyfive minutes too late
Though you travelled so far boy I'm sorry your are
twentyfive minutes too late

Out in the streets
places where hungry hearts have nothing to eat
inside my head
still I can hear the words she said

Chorus:
I can still hear her say.......

KELUARGA SEMPURNA


Sore yang indah. Anak-anak bermain riang di beranda samping rumah. Dan aku sedang menyibukkan diri memasak di dapur. Kali ini dengan menu istimewa. Karena hari ini adalah hari ulang tahun pernikahanku dan suami yang kesepuluh.

Masih teringat dengan jelas di kepalaku masa-masa sebelum kami berkenalan. Aku sering mlihatnya lewat di depan tempat tinggalku. Aku jatuh cinta pada sosoknya sejak saat pandangan pertama. Selanjutnya aku berusaha untuk bisa lebih dekat mengenalnya. Hingga akhirnya kami pun menikah.

Sebuah pernikahan dan keluarga yang sempurna. Suami baik hati dan penyayang, anak-anak yang lucu dan menggemaskan. Aku sangat bahagia dengan hidup dan kehidupanku sekarang.

Tanpa sadar, kuraba rambut dan kepalaku. tepat di atas ubun-ubunnya. Terasa ada sebuah paku besar tertanam di  sana. Sebuah paku yang belum juga disadari suamiku keberadaannya. Aku menarik nafas panjang dan berdoa. Semoga suamiku tak pernah menyadarinya. Karena jika paku itu tercabut, aku akan kembali ke wujudku semula. Kembali ke duniaku sebelumnya. Saat aku masih suka duduk di ranting pohon mangga di dekat rumahnya.

Balikpapan, 231010

PENGLARIS

Warung baksoku hari ini sangat ramai. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku membuka warung ini  beberapa tahun lalu bersama suamiku. Awalnya memang kurang ramai, tetapi  setelah mendapat masukan dari beberapa teman aku tahu kekurangan warung kami: "penglaris".

Awalnya suamiku tidak setuju. Haram katanya. Tetapi aku  tetap pada keputusanku. Warungku butuh penglaris. Dan ternyata memang benar, sejak menggunakannya warung baksoku menjadi  laris manis.

Pada awalnya beberapa orang pelanggan mempertanyakan ketidakhadiran suamiku. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, mereka sudah mulai lupa. Tak peduli lebih tepatnya.

Hari ini kututup warungku sore hari. Karena  dagangan sudah habis terjual sedari tadi. Sekarang  waktunya menyiapkan adonan dan bahan untuk esok hari. Kuambil bahan-bahan di lemari dan ruang pendingin. Dengan hati-hati kukeluarkan sebungkus plastik hitam yangg kusimpan di pojokan. Kupandangi isi di dalamnya. Sebuah jari lengkap dengan cincin kawin menghiasinya. Kutarik nafas panjang.  "Bahan penglarisku sudah akan habis, sepertinya aku sudah harus mencari pengganti untuk penglaris yang sedikit demi sedikit kucampurkan ke dalam adonan bakso maupun kuahnya."

Balikpapan, 231010

Pernikahan



Pesta pernikahanku hari ini berlangsung cukup lancar. Walaupun ada satu-dua halangan, akhirnya bisa diselesaikan. Dan kini, kutatapi wajah tampan suami yang sedang terlelap tidur setelah malam pertama kami. Sosok pria sempurna dan ideal d mataku. Tampan, cerdas, mapan dan bermasa depan. Tak ada orang yang menyangka kalau kami akan menjadi suami istri. Aku sendiripun tidak.

Aku bahagia bisa menjadi istrinya. Kupandangi cincin di jari tengah -tepat di samping cincin nikah-. Iitu adalah cincin milik sahabatku Astri yang meninggal dunia karena kecelakaan yang dialaminya.

Aku tersenyum puas. Terbayar  sudah semua hinaan dan penindasan yang ia lakukan selama ini. Tak salah ketika aku memutuskan untuk memotong kabel di  rem mobilnya. Karena sekarang aku bisa menikah dengan pria impianku- Irwan.  Yang belum sampai sebulan yang lalu masih berstatus tunangannya.

Balikpapan, 23102010

Kamis, 21 Oktober 2010

Demi Nayla


Malam ini aku menonton berita malam di televisi. Masyarakat kota Jakarta kembali digegerkan oleh penemuan mayat di sebuah motel murah di kawasan mangga dua. Diduga, ini juga adalah korban pembunuhan berantai yang dalam beberapa bulan terakhir ini menghantui warga Jakarta. Semua korbannya adalah pria, dan hampir semuanya ditemukan dalam keadaan tanpa busana di hotel, motel ataupun penginapan serta  –maaf- dengan kondisi tanpa alat kelamin laki-lakinya.

Pembunuhan. Lagi-lagi pembunuhan. Kenapa belakangan ini nyawa manusia jadi terasa begitu murah? Aku diam seribu bahasa. Kenangan masa lalu itu muncul kembali. Lima tahun yang lalu, kakak perempuanku ditemukan tewas di sebuah kebun di pinggiran kota Jakarta. Menurut investigasi polisi, Nayla tewas dibunuh teman kencan prianya setelah melakukan persetubuhan. Dan menurut informasi yang kudapat, ternyata selama ini Nayla bekerja sebagai pekerja seks komersial. Perlahan air mata itu jatuh lagi. aku masih ingat bagaimana Nayla bekerja keras untuk membiayai keluarga kami dan juga sekolahku. Ia sering pulang larut malam, bahkan hampir pagi. Saat itu, kami tak tahu apa yang ia lakukan sebenarnya juga tak pernah mempertanyakannya. Yang kami tahu hanya bahwa Nayla bekerja keras demi kami sekeluarga.

Tak mampu lagi kutonton tayangan berita, aku matikan televisi dan beranjak menuju kamarku. Berita-berita itu berkelebat lagi. Sakit dan perih itu datang lagi. Kupandangi potongan artikel-artikel koran di balik pintu lemari. Potongan-potongan gambar yang tumpang tindih, serta foto wajah Nayla.

Kubuka laci dan dari dalamnya kuambil sebilah belati. Belati tajam yang telah banyak membantuku selama ini. untuk memuaskan keinginanku membalas kebencian pada semua lelaki hidung belang. Demi Nayla.

Wajah di Cermin

Suasana di rumahku sore itu hiruk pikuk oleh para wartawan, keluarga, tetangga, dan para petugas kepolisian yang lalu lalang. Sesekali mereka mengajukan beberapa pertanyaan padaku yang hanya bisa kujawab dengan ratapan dan tangis kesedihan. Pagi ini, suamiku tercinta ditemukan tewas mengenaskan di sebuah hotel mewah. Menurut info kepolisian, semalam ia check-in di hotel tersebut bersama seorang wanita cantik berambut merah yang hingga kini masih belum diketahui keberadaannya.

Sesekali beberapa orang kerabat mencoba menghiburku, menabahkan hatiku. Aku harus menerima kenyataan pahit kalau suamiku tersayang Andhika Soetedja telah tiada lagi di dunia ini. Dan aku – Ayudhya Soetedja haruslah menjadi janda.

Setelah kerumunan dan keramaian mereda. Tinggalah aku sendiri di rumah ini. Rumah yang telah bersama kami huni selama hampir sepuluh tahun ini. Dan kini setelah suamiku tiada, hanya tinggal aku seorang diri di sini. Kukunci pintu kamar kami. Aku ingin menyendiri. 

Kilatan memori itu datang lagi. Seperti tumpukan foto dan film yang tumpang tindih. Dimulai dari belasan tahun silam ketika kami pertama kali bertemu hingga peristiwa semalam. Perlahan, kukeluarkan sebuah kantong plastik hitam yang sedari tadi kukubur di halaman. Dari dalamnya, kukeluarkan sebuah wig rambut merah menyala dan sebilah pisau tajam yang masih berlumuran darah.

Kutatap bayanganku di cermin. Nampak sesosok perempuan cantik berambut merah dengan senyum dingin menghiasi wajahnya.

"Kalau si naif Ayudhya tidak bisa melakukannya, aku bisa!"

Rabu, 06 Oktober 2010

Kereta Hantu


Kuliah hari ini selesai larut malam. Setelah kelas selesai, buru-buru kulangkahkan kaki menuju stasiun kereta dekat kampus. Jalanan sudah sepi, para pedagangpun tak ada lagi. Stasiun sunyi.

Tak lama kemudian muncul kereta api dari arah selatan. Tanpa ragu kulangkahkan kaki masuk ke dalam. Di dalam gerbong kereta tak banyak penumpang. Hanya beberapa. Satu, dua,….kuhitung ada delapan orang termasuk aku. Kuperhatikan satu per satu. Di pojok depan, seorang pria paruh baya yang duduk seperti tertidur. Pulas, damai, terbuai dalam mimpi. Di seberangnya sepasang muda-mudi sedang asyik bercengkrama sambil sesekali mempertontonkan adegan mesra. Beuh, membuatku iri. Merasa jengah, kuedarkan pandangan ke bagian tengah gerbong. Nampak seorang nenek renta yang sedang duduk sendirian. Matanya kosong, nanar menatap ke arah kehampaan. Aku jadi teringat nenek di kampung halaman. Aku rindu. 

Tak jauh dari si nenek, ada seorang anak kecil yang sedari tadi mondar-mandir tak karuan. Bernyanyi kecil sambil sesekali melompat riang. Lucunya, pikirku. Tapi kenapa anak sekecil  itu bisa berada di kereta selarut ini sendirian? Kucoba memanggil sang anak, tetapi sepertinya yang ia tak mendengar. Lelah memanggil kuputuskan untuk diam. Kembali kuedarkan mata ke bagian belakang. Duduk seorang remaja pria dengan kaus kumal dan tas ransel di bahunya. Aku menduga ia anak SMA. Remaja itu sedang asyik mendengarkan music dari pemutar MP3nya. dan terakhir di pojok bagian belakang gerbong tampak seorang wanita muda bertampang muram. Wajahnya memancarakan kesedihan mendalam. Sempat kulihat ia seperti menangis tersedu sedan. Ingin kuhibur, tapi kutak berani mengganggu.

Delapan orang penumpang di gerbong tujuh. Semua sibuk dengan dunianya masing-masing. Semua asyik dengan pikirannya masing-masing. Tanpa saling bicara  ataupun menyapa (kecuali pasangan muda-mudi di bagian depan).

Tak terasa kereta telah sampai di stasiun tujuan. Langsung saja kumelompat keluar kereta, lantas melangkah ke depan. Stasiun sangat sepi. Tak ada seorangpun yang kulihat. Setelah sampai di pelataran stasiun, aku disapa seorang pria tua berseragam -Petugas kebersihan PT. KAI sepertinya. Ia lantas bertanya padaku “ Neng malam-malam begini dari mana? Kok bisa ada di sini?” . Tanpa curiga aku jawab saja “Saya dari kampus pak, barusan saja turun dari kereta”. “Kereta yang mana neng? Sekarang sudah jam dua pagi. Kereta terakhir jam sembilan malam” ucap si Bapak tua tadi. “Loh tapi tadi saya ….” Kalimatku putus ditelan angin malam. Dalam sekejap semua terasa dingin, bulu kudukku berdiri….



Tiga Patah Kata


“Aku Cinta Kamu”

Tiga kata sakral yang yang mungkin akan merubah persahabatan kita selama sepuluh tahun belakangan. Tiga patah kata yang lama kupendam dalam dan tak sanggup kuungkapkan. Kusimpan saja sendirian dan tersimpan dalam lembaran-lembaran buku harian. 

Aku lebih memilih menyakiti diri sendiri dengan membohongimu dan membiarkanmu pergi. Biar hatiku sakit melihatmu bersama orang lain. Tak mengapa batinku menangis karena tak bisa memilikimu. Daripada kubiarkan kau bersedih karena kepergianku. Biar kanker gerogoti tubuhku. Tapi tidak cintaku untukmu.
Lembaran putih itu basah terkena rintik hujan yang mengguyur sejak dini hari tadi. Membasahi gundukan tanah merah yang baru tertanam. Hampa. Sunyi. Di sudut batu nisan yang baru terpasang.

Telah beristirahat dengan tenang

Aira Pratama
10 October 1981 – 2 Februari 2010

Rabu, 03 Februari 2010

The Letter (Gantung Part 2)


Siang ini kau bertanya padaku. Suatu pertanyaan lugu yang sulit tuk kujawab. Bukan karena aku tak tahu jawabannya. Tetapi Karena ku tak tahu bagaimana mengatakannya. Akhirnya aku memilih untuk diam.

Kediamanku, mungkin mengesalkanmu. Ketakjelasanku, pasti menyesakkanmu. Maafkan aku, tetapi kurasa ini yang terbaik. Buatmu, buatku dan buat kita. Maafkan aku kalau ku tak berani katakan ya, pun tak punya cukup nyali untuk berkata tidak. Andai engkau tahu.

Masih teringat dengan jelas di otakku, saat pertama kali kita bertemu. Di sudut sebuah café yang tenang kau duduk sendirian sambil tertawa kecil sendirian. Di tanganmu nampak sebuah buku buku kecil bergambar yang kutahu belakangan kalau itu adalah komik jepang. Tawa kecilmu mengusik naluri ingin tahuku. Rasa penasaranku. Tanpa sadar, diriku tertarik pada medan magnetmu. Tapi kutak berani bahkan hanya sekedar tuk berkenalan. Gambar sosokmu hari itu saja yang kubawa dalam ingatan.

Hingga akhirnya takdir membuatku bertemu lagi denganmu. Membuatku punya kesempatan untuk lebih jauh mengenalmu. Tanpa syarat, tanpa isyarat kujatuh pada pesonamu. Pada daya dan semangat hidupmu. Pada keceriaanmu. Pada senyummu. Pada tawa lepasmu. Yang terindah adalah saat melihatmu tertawa lepas tanpa beban. Hingga rasanya seluruh dunia terasa ringan. Hanya dengan mendengar celotehanmu, rasanya semua bebanku menjadi hilang. Lenyap. Menguap.

Masih bisa kuingat dengan jelas hari-hari yang kita lalui bersama. Tawa, canda dan semuanya. Semakin lama kuterperosok semakin dalam dalam cintamu. Dalam dirimu. Hingga rasaku hampa bila tanpa hadirmu. Aku cinta kamu Re.

Tetapi, justru karena aku cinta kamu. Karena aku menyayangimu. Ku tak bisa menjawab pertanyaanmu. Ku tak bisa katakan isi hatiku. Aku hanya bisa diam. Seribu bahasa.

Karena buatku, kau terlalu berharga. Karena buatku kaulah segalanya. Aku tak bisa melihatmu sedih. Aku takkan sanggup melihatmu menangis dan berduka. Aku ingin senyum dan tawa itu tetap ada. Terang seperti mentari. Indah seperti bintang. Dan teduh seperti sang rembulan. Aku takkan memaafkan diriku sendiri kalau kulihat air mata jatuh dari mata beningmu. Aku takkan bisa. Tetapi aku juga takkan mampu 'tuk jauh darimu. Takkan bisa tak melihat sosokmu. Mendengar suara dan tawamu. Senyummu. Makanya aku memilih untuk diam. Biar saja semua seperti ini, seperti adanya kini. Ku tak mau membuat janji. Ku tak mau berikan padau sesuatu yang tak pasti. Apalagi dengan kondisiku kini

………………………..
Kebahagiaanku adalah ketika melihat kau bahagia. Teruslah tersenyum dan tertawa. Teruslah berikan cahaya dan semangat hidup pada orang-orang di sekitarmu. Aku 'kan terus memandangmu dari jauh. Mengawasimu dari jauh. Pun nanti ketika waktuku telah tiba, aku kan tetap membawa ingat akanmu ke surga. 'Kan kuminta pada Tuhan di surga, semoga kau tetap bahagia selamanya.

Waktuku, hanya tinggal sekejap saja. Ku tak tahu apakah kukan bisa terus bertahan, melawan apalagi menang dalam perang ini. Bukan perang terhadap bom, granat atau senjata. Tapi terhadap kanker yang telah merajalela. Aku hanya ingin kau tetap ingat kenangan hari ini. Saat aku masih ada di dunia ini.
Aku sayang kamu Re.
……………………………………………………

Lembaran putih itu basah terkena rintik hujan yang mengguyur sejak dini hari tadi. Membasahi gundukan tanah merah yang baru tertanam. Hampa. Sunyi. Di sudut batu nisan yang baru terpasang.

Telah beristirahat dengan tenang
Andra Reva Susanto
10 October 1979 – 2 Februari 2010

Jumat, 29 Januari 2010

Gantung


Suatu waktu, tanya mewujudkan dirinya. Ku tanya “Apakah aku buatmu? Adakah aku di hatimu? Salahkah kubaca tanda dan isyarat matamu?”


Diam, hening. Tak muncul satu katapun dari mulutmu.

“Kenapa kau diam saja? Aku hanya butuh satu di antara dua kata, Ya atau tidak. Itu saja” lanjutku.

Kau lantas berkata “Aku tak mau menyakiti banyak orang, makanya aku tak berani membuat janji. Tak berani berkomitmen. Jalani saja apa yang ada saat ini”

Ku termenung. Tercenung. Kilatan gambaran dan cerita itu muncul lagi. Dari yang ku lihat, ku dengar dan ku baca. Ku tahu sesuatu. Pada saat yang sama, kau beri asa pada beberapa wanita. Kau tabur harapan di banyak cinta. Di beberapa tempat kau tinggalkan jejak hubungan tanpa status dan kata. Itukah sebabnya? Karena kau takut memberi janji? Begitu takutkah kau pada sebuah komitmen? Aku tak begitu yakin. Bisa saja itu hanya sebuah permainan kata. Ciri khas playboy cassanova.

Dan kalaupun benar begitu, kuhanya bisa bilang satu kata. NAIF. Sebegitu naifkah kau, sampai tak bisa melihat tanda? Ataukah kau begitu egois dengan hatimu? Kau takut untuk menyakiti. Takut untuk disakiti. Tetapi tahukah kau? Kalau pada saat yang sama kau tabur asa di banyak cinta. Kau tebar benih di banyak hati. Tanpa kau berani untuk memilih. Untuk berkata ya atau tidak. Untuk memberi kepastian dan jawaban atas sebuah tanya. Gantung. Tanpa kau sadari kau telah menyakiti banyak hati. Tanpa kau ingini, telah kau toreh luka di beberapa cinta.

Sshhh..kutarik nafas panjang. Sudahlah. Tak perlu dibahas lagi. tak perlu debat dan opini. Yang ada hanya tanya pada diri sendiri. Kenapa bisa? Kenapa harus dia dan bukan yang lainnya? Tanpa syarat, tanpa isyarat. Kujatuh pada cinta. Kuterseret pada rasa. Tertinggal tanya. Lagi-lagi kenapa? Pada akhirnya cinta tak butuh alasan. Tak butuh penjelasan. Pun dan tak butuh balasan. Karena cinta hanyalah cinta. Sekompleks itu sekaligus juga sesederhana itu. Itu saja.

Catatan: tulisan ini hanyalah fiksi. Kalaupun ada kemiripan dengan kisah nyata, hal itu memang disengaja ^^

Palangkaraya, 28 Januari 2010

Selasa, 26 Januari 2010

Suatu Hari di Negeri Angkasa


Suatu hari, di negeri angkasa, bulan dan bintang sedang bercengkrama.

“Hi bulan” sapa bintang. “kenapa kau tak pernah terlihat bersama mentari? Apakah kalian bermusuhan?”

“Tidak juga. Tetapi mungkin mentari yang tak suka padaku. Ia tak sudi kalau aku mengambil sedikit cahayanya untuk kupantulkan kembali ke bumi di malam hari”. Jawab bulan

“Kau baik sekali ya, kau sudah temani bumi sepanjang hari. Kau berikan ia cahaya pula di malam hari. Sebegitu besarnyakah kau mencintai bumi?” cecar bintang

“Entahlah. Tetapi yang pasti, aku hidup karena ada bumi. Aku ada disini, karena bumi ada. Bumilah gravitasiku. Bumilah penahan keberadaanku. Kalau bumi tiada aku kan jatuh entah kemana. Terbang, hilang ke semesta raya”. Jelas bulan

“Indah sekali hubungan kalian berdua. Terkadang aku iri rasanya”

“Kenapa kau harus iri pada kami bintang. Justru aku yang iri padamu dan mentari . Kalian memiliki cahaya sendiri. Kau tak butuh yang lain untuk keberadaanmu. Bisa hidup sendiri, mandiri. Tak seperti aku yang butuh bumi 'tuk bertahan. Dan butuh mentari tuk peroleh terang” ujar bulan.

“Ah, tidak juga. Terkadang aku merasa kesepian. Sendirian. Bulan dan bintang memang sering bertemu di kala malam tiba. Juga bersama dengan jutaan bintang lainnya dari kaumku. Tapi kita tak saling membutuhkan. Bersama tapi bukan siapa-siapa. Tak ada hubungan apa-apa. Hampa”

“Tapi kau cantik dengan cahayamu sendiri bintang, aku suka memandang kerlipanmu. Aku suka kehangatanmu. Dan aku yakin bumi juga suka kau yang begitu. Terkadang ia bilang padaku kalau di kala malam menjelang bumi rindukan datangnya bintang. Indah mempesona di langit malam”

“Bintang, kamu tahu tidak? Jujur saja, aku cemburu padamu” lanjut bulan

“Kenapa begitu”

“Sepanjang hari ku dampingi bumi. Di malam hari ku berikan sinar yang kucuri dari mentari, tetapi bumi tetap saja merindukan hadirmu. Bumi tetap saja sunyi tanpa cahayamu.”

Shing…sunyi…

“Bulan…apakah apakah kau mencintai bumi?” tanya bintang ragu-ragu

“Kenapa kau tanya begitu?”

“Hanya ingin tahu” lanjut bintang

“Hmm…bagaimana ya, aku sendiri tak tahu. Apakah ini cinta? Kami saling membutuhkan. Sudah jadi kebiasaan. Bagaimana kalau menurutmu?

“Aku juga tak tahu, jawabnya hanya ada di dalam hatimu. Tetapi….”

….sunyi sekejap

“Tetapi?”... tanya bulan

“Kalau cinta bisa tumbuh dari kebersamaan dan kebiasaan, mungkin aku bisa jatuh cinta padamu”

“Padaku? Kenapa?”

“Karena kebersamaan. Entah sudah berapa lama kita berjalan bersama. Arungi semesta raya. Entah sudah berapa juta malam kita habiskan bersama. Lama-lama aku jadi terbiasa. ”

“Terkadang aku berpikir, aku tak’kan bisa tanpa hadirmu. Terkadang aku merasa aku tak kan lengkap tanpa dirimu”

Senyap….tiada suara

“Apakah kau serius bintang? Apakah betul kau cinta padaku? Kupikir kau cinta pada mentari. Bukankah ialah sumber inspirasimu? Bukankah ia objek kekaguanmu? “

“Kenapa kau pikir begitu? “ tanya bintang

“Ia besar, berkuasa dan bercahaya. Semua semesta butuh ia. Ia dipuja dimana-mana. Termasuk bumi yang memujanya”

“Mungkin bumi memujanya. Karena ia besar, terang dan bercahaya. Sumber hidup banyak semesta. Tetapi tidak buatku” jelas bintang

“Kenapa begitu?”

“Kutak butuh cahaya dari mentari, karena aku sudah punya cahaya sendiri. Lagipula ia terlalu panas. Terlalu kuat. Terlalu membakar. Tak’kan sanggup aku dekat dengannya. Lagipula kami dari unsur yang sama. Api. Apa jadinya kalau kami bersama? Semesta pasti 'kan musnah. Atau aku saja yang akan musnah karena terpaksa mengalah”

“Hmm…jadi begitu… tapi bumi sangat mencintainya. Begitu memujanya” *bulan sedih*

“Yah, sudah kubilang itu bumi. Bukan aku. Karena buatku hanya ada kamu” ujar bintang

Hhmm…

“Sudahlah bintang tak perlu kau bercanda terus. Aku sedang sedih nih.” Gumam bulan

“Sudahlah kalau begitu maumu…aku 'kan pergi. tak mengganggumu lagi. Kau tunggu saja bumi menoleh padamu. Kau tunggu saja ia berhenti memuja mentari.” Bintang pergi menjauh

………………
“Kenapa terus kau pertanyakan. Kenapa terus kau ragukan. Tapi ku tahu cinta tak butuh alasan. Tak butuh penjelasan. Pun tak butuh balasan. Karena cinta hanya 'kan jadi cinta saja. Sesederhana itu, sekaligus juga sekompleks itu. Seperti itupun cintaku padamu” - ucap bintang di dalam hati. Hanya di dalam hati.

Untuk semesta, kau mungkin hanya seseorang. Tetapi tahukah kau kalau bagi seseorang, kau adalah semestanya