Pages

Senin, 16 Januari 2012

Si Bolang Susur Mahakam (part 1)


H-1 : Gedebag Gedebug Keberangkatan 

Sungai Mahakam, sungai panjang yang melintasi Kalimantan timur hingga pegunngan Muller di perbatasan antar Kalimantan Timur dan Kalimantan Bara. Sejak beberapa bulan lalu, saya bermimpi untuk bisa menyusuri sungai terpanjang ketiga di dunia ini. Niat ini akhirnya kesampaian juga  akhir Desember 2011 lalu.
Walaupun saya sudah terbiasa pergi sendirian ke mana-mana, untuk perjalanan kali ini saya lebih memilih ada temannya. Karena medan yang “lumayan asing dan berat”. Plus travelling sendirian itu kurang menyenangkan karena mati gaya plus gak ada di kamera :P

Awalnya saya mengajak beberapa orang teman, tetapi hanya satu orang yang bersedia. Teman yang lain tidak bisa berangkat rata-rata karena masalah waktu dan cuti. Well, itulah nasib jadi pegawai yang serba terbatas. Terbatas waktu, biaya, etc. Andai aku jadi orang kaya .. :D *dream on* :P  Sebenarnya saya juga terancam tidak jadi berangkat karena alasan yang sama , cuti. Akan tetapi dengan modal nekat saya berangkat juga. Walaupun cuti saya sudah diapproved bos yang di JKT, tetapi bos yang di Kalimantan tidak setuju :P  So.. anjing menggongong kafilah berlalu lah. Hajar aja. Kalau mau dipecat, ya pecat aja :D

Berbekal informasi dan budget seadanya, akhirnya saya dan Yani - seorang teman di komunitas couch Surfing-  berangkat juga ke sana. Peralatan tempur pun saya siapkan. Backpack, sandal gunung, pakaian sekedarnya (bahan yang mudah kering pastinya), peta, kompas, P3K dan pastinya kamera serta perlengkapannya. Well, sebenernya kamera dan sodara-sodaranya ini yang bikin bawaan jadi rempong. Karena saya harus membawa tas kamera khusus  yang berisi kamera dan perlengkapannya. Belum lagi tripod. Salah satu kejelekan punya hobi fotografi : kalo ke mana-mana jadi ribet sendiri. Bawaannya jadi banyak. Terpaksa saya harus meminimalkan bawaan yang lain. Karena akan sangat sayang sekali kalau saya pergi tanpa membawa peralatan perang :D Kapan lagi coba saya ngetrip susur sungai Mahakam? :D

Rencana start perjalanan pada hari Jumat  tanggal 23 Desember 2011 dari Balikpapan. Karena posisi saya saat itu masih di Pontianak, maka sejak pagi buta saya sudah meluncur ke bandara untuk mengejar penerbangan pertama ke Balikpapan via Jakarta.

Saya sampai Balikpapan sekitar pukul 3 sore. Sesampainya di kostan, langsung gedebag gedebug packing-packing barang. Jam 5 sore saya meluncur ke terminal Bis Batu Ampar Balikpapan untuk bertemu rekan saya Yani.Dari sini, kami naik bis antar kota jurusan Samarinda dengan tariff Rp 21 ribu /orang. Bis berangkat jam 6 malam. Dan sampai di Samarinda sektar jam 10 malam. Sebenarnya waktu tempuh normal dari Balikpapan- Samarinda hanya sekitar 3 jam. Akan tetapi karena pengemudi bis yang sudah berusia lanjut jadi bis melacu dengan sangat “hati-hati”. Alon alon asal kelakon, daripada kecelakaan :D  

Sesampainya di Terminal Samarinda, kami dijemput oleh teman dari komunitas CS samarinda, yaitu Femi dan Fitria. Mereka mengajak kami menikmati pemadangan malam kota Samarinda dari Puncak, yaitu sebuah caffe yang terletak di atas bukit dengan view night scene yang cukup bagus. Tak terasa jam sudah menunjukan jam 12 malam. Kami segera bergegas ke rumah Ria, seorang member CS Samarinda yang telah berbaik hati mau menjadi host kami berdua malam itu. Tq so much Ria, Fitria dan Femi ..

H1 dan H2 : Pada Sebuah Kapal

Esoknya, pada hari sabtu, 24 Desember 2011 jam 6 pagi kami sudah meninggalkan kediaman Ria untuk menuju Pelabuhan. Setelah menumpang angkot 2 x, kami sampai di Pelabuhan sekitar jam 7 pagi. Sampai di sana kami menemui kekecewaan, ternyata kapal yang menuju Long Bagun sudah berangkat sejak semalam. Karena adanya jembatan roboh di Kutai kartanegara, kapal penumpang semacam ini tidak boleh lewat di sana pada siang hari. Berdasarkan info petugas di sana, kapal akan berangkat dari Tenggarong sekitar jam 9. Karuan saja kami langsung panik dan gedebag gedebuk mencari kendaraan untuk mengejar kapal ke Tenggarong.

Setelah naik angkot 2x, kami sampai di pelabuhan Tenggarong sekitar jam 9 kurang. Cukup ngepas, karena baru saja kami naik, kapal sudah langsung berangkat. Kalau kami telat 5 menit.. saja, bisa dipastikan kami sudah ketinggalan kapal :P  Kapal yang kami naiki bernama Amanda Akbar, jurusan Samarinda - Long Bagun dengan harga tiket 250 ribu/orang dan lama waktu tempuh sekitar 40 jam. Alamat dua harian kami berada di dalam kapal :P

Kapal yang kami tumpangi adalah sebuah kapal penumpang kayu yang terdiri dari 2 lantai. Lantai dasar untuk barang dan penumpang kelas ekonomi, dan lantai 2 untuk penumpang kelas eksekutif. Kelas eksekutif, kesannya keren ya, tapi jangan salah sangka dulu. Kelas eksekutif yang dimaksud di sini hanya berupa lapak kecil yang berukuran pas untuk tidur 1 orang. Para penumpang diberi  alas tidur semacam kasur lipat. Lumayan sih, paling tidak bisa tidur. Mengingat perjalanan bisa mencapai 2 hari.

Waktu terasa berjalan lambat sekali di dalan kapal. Ekspektasi awal, kami harap bisa melewati banyak hutan dan pepohonan. Tetapi ternyata sepanjang jalan kami disuguhi kapal-kapal tongkang batu bara, illegal logging dan hutan casing doang alias pinggir jalan dan sungai saja hutan, dalamnya sudah gundul,  sangat menyedihkan. Hutan sudah banyak yang beralih fungsi menjadi tambang batu bara, perkebunan karet ataupun penebangan kayu liar (illegal logging).  Sedih rasanya melihat kondisi seperti ini .

Bagi warga di sepanjang Mahakam, sungai ini menjadi salah satu sarana transportasi yang cukup penting. Jadi jangan heran kalau segala macam benda dan orang “naik” di kapal ini. Mulai dari kayu, besi tua, sembako sampai buah-buahan.  Karena saat itu sedang musim panen duren, jadilah kami mabok duren sepanjang jalan. Yang menyenangkan adalah, kami dapat duren gratisan :D :D

Sebagai sosialita (maksudnya makhluk social :p ), pastinya kami bersosialisasi dengan penumpang kapal yang lain. Ngobrol tentang banyak hal. Cukup menyenangkan, karena kami  bisa mengenal orang-orang baru dan mengenal lebih dekat penduduk di sekitar Mahakam. Rata-rata adalah penduduk asli setempat ataupun orang Jawa yang bermigrasi ke sana. Kalau dipikir-pikir, orang Jawa itu seperti orang Cina, karena jumlah mereka sangat besar, mereka menyebar ke mana-mana. 

Oh ya, kapal di Sungai Mahakam ini tergantung kepada musim. Saat musim hujan (desember- Januari), debit air tinggi sehingga kapal bisa berlayar sampai Long Bagun. Tetapi saat musim kemarau, debit air rendah, kapal hanya bisa berlayar sampai Melak tau paling jauh Long Iram. Jadi kalau mau ke hulu sungai Mahakam, lebih baik saat musim hujan. Karena kalau musim kemarau kapal tidak sampai Long Bagun. Lewat darat akan memakan biaya dan waktu yang tidak sedikit.

Di kapal ini ada kantin yang menyediakan makanan, yang walapun menunya itu-itu saja sepanjang jalan. Paling tidak menolong dari kelaparan :D sebagai catatan, bagi gembel traveler seperti kami, makan di kapal harus diirit karena harganya yang selangit. Semakin ke hulu sungai Mahakam, harga barang-barang memang semakin mahal.

Kapal melewati Kota Bangun, Melak, Long Iram sampai Long Bagun. Pada hari senin, 26 Desember  2011 jam 1 pagi kami sampai di perhentian terakhir, Long Bagun. Karena hari masih pagi sekali dan masih gelap, kami meminta izin kapten kapal untuk bermalam di kapal sampai pagi. Bermalam di kapal ini juga sebagai salah satu cara mengirit biaya penginapan :D bahkan kami diijinkan untuk bermalam di kapal 2 hari . Karena kapal baru akan kembali menghilir ke Samarinda pada hari Rabu. Yippie!!! :D :D

Malam itu ada 4 orang penumpang yang bermalam di kapal, yaitu saya dan Yani serta seorang perempuan umur belasan beserta ibunya. Demi factor keamanan bersama, kami memilih tempat untuk tidur yang tidak berjauhan.

Sedang enak-enaknya tidur saya dikagetkan dengan teriakan Yani “Mau ngapain pak?” Spontan saja kami terbangun. Ternyata, saat kami tertidur ada seorang Anak Buah Kapal yang mengendap-endap dengan gerakan mencurigakan menuju kami. Dan oknum tersebut mau tiba-tiba merebahkan badannya disamping kami. OMG… orang itu mau ngapain???
Si oknum beralasan sedang mencari gelas dan langsung ngeloyor pergi.  Gosh.. ngapain juga nyari gelas malam-malam. Alasan aja. Thanks God, untung teman saya terbangun kalau tidak.. Astagfirullah….  Hampir saja kami jadi korban pelecehan seksual  di atas kapal. Karena kejadian itu kami jadi tidak bisa tidur sampai pagi dan akhirnya memutuskan untuk segera meninggalkan kapal begitu pagi menjelang.

H3 : Long Bagun. Perjalanan yang tak terekam

Senin, 26 Desember 2011 pagi, kami meninggalkan kapal dan langsung mencari penginapan.  Kami memilih penginapan polewali yang lokasinya tak jauh dari dermaga kapal, tepatnya di depan lamin adat Long Bagun. Tarifnya 75 ribu/malam.

Hal yang pertama kami lakukan sesampainya di penginapan adalah ..mandi. rasanya puas sekali mandi dengan air bersih setelah2  hari tidak mandi di dalam kapal :P Well, sebenarnya di kapal ada kamar mandinya juga. Tetapi namanya juga kapal di sungai, airnya ambil langsung dari sungai dan keluar langsung ke sungai. Ha3x.. gak tega rasanya bersihin badan dengan cara seperti itu. Mending gak mandi sekalian. He3x :D 

Setelah puas bersih-bersih kami memulai petualangan di sekitar long bangun. Dengan menggunakan Ces seharga 1o ribu dari dermaga long Bagun kami menuju kampung adat Dayak batu majang. Sebuah perkampungan kecil yang terletak tak jauh dari Long Bagun. Kampung ini dihuni oleh penduduk asli suku Dayak. Warga setempat mengambil air dari mata air di pegunungan yang langsung dialirkan ke penampungan air untuk warga. Di kampung ini juga terdapat lamin adat.

Saat sedang berkeliling kampong, kami melihat anak-anak kecil membawa banyak duren di keranjang. Penduduk setempat memang suka memanen duren di hutan. Setelah ngobrol dan menawar dengan seorang penduduk desa, kami bisa menikmati 2 buah durian dengan harga 10ribu rupiah. Mak nyos…

Setelah dari kampong batu majang, kami menumpang ces menuju ujo bilang. Si Bapak pengemudi Ces menawarkan untuk menyusuri anak-anak sungai Mahakam sebelum ke Ujo Bilang. Setelah tawar menawar, si Bapak akhirnya mengantarkan kami menyusuri anak-anak sungai Mahakam di sekitar Long Bagun.

Serasa di hutan Amazon, dengan perahu kecil (ces) kami menyusuri anak sungai Mahakam yang berwarna hitam melewati hutan. Agak dag dig dug khawatir tiba-tiba ada buaya muncul di sungai atau ular yang melompat dari dahan pohon di pinggir sungai. Terkadang kami perlu menunduk karena dahan dan ranting pohon yang lebat mencapai sungai. Setelah sekitar 20 menit kami sampai di air terjun kecil yang saya lupa namanya. Mendengar suara alam, riak air, kicauan burung di alam liar dengan udara bersih dan bebas polusi. Rasanya seperti di surga :D

Dari air terjun kami diantar ke anak sungai  yang airnya jernih. Di situ kami baru bisa bermain air. Karena di anak sungai yang sebelumnya tak bisa. Warnanya saja gelap begitu. Kami tak punya cukup nyali untuk berenang bersama buaya atau makhluk air lainnya :D :D

Puas bermain air, kami diantar menuju  Ujo Bilang. Desa ini letaknya tak jauh dari dermaga Long Bagun. Desa ini adalah ibukota kecamatan Long Bagun, jadi desa ini lebih ramai daripada Long Bagun. Di desa ini juga berdiri tower BTS salah satu perusahaan Telekomunikasi. Hanya operator ini yang sinyalnya menjangkau sampai ke daerah hulu sungai Mahakam. Itupun hanya sampai Long Bagun ini. Di daerah di atasnya sudah no signal .

Awalnya kami berencana mengunjungi teman dari rekan seperjalanan saya – Yani -. Akan tetapi ternyata yang bersangkutan sedang tidak di tempat. Maklum saja saat itu memang masih dalam suasana natal. Masyarakat banyak yang bersilaturahmi ke sanak kerabat mereka. Akhirnya kami mengeliligi desa berdua saja.

Awalnya saya mengira kalau penduduk di daerah hulu sungai Mahakam masih sangat tradisonal. Ternyata dugaan saya salah. Jangan terlalu berharap penduduk berpakaian adat dan upacara-upacara tradisional. Telepon selular dan modernitas sudah merambah ke pedalaman. Upacara adat memang masih tetap dilaksanakan pada momen-momen tertentu. Dan sebagian penduduk masih memegang teguh adat dan kepercayaan nenek moyang. Akan tetapi seiring masuknya kebudayaan dari luar dan modernisasi perlahan namun pasti, penduduk mulai meninggalkan adat dan budaya mereka. Yang terlihat paling jelas adalah jumlah penduduk yang bertelinga panjang. Dulu waktu saya kecil, di acara televisi kalau ditayangkan tentang suku Dayak pasti ditampilkan nenek-nenek atau kakek-kakek yang bertelinga sangat panjang. Sekarang sudah sangat jarang. Seiring migrasi kepercayaan penduduk dari kepercayaan lama ke agama Modern seperti Islam dan Kristen, penduduk mlai meninggalkan budaya telinga panjang. Penduduk banyak yang memotong daun telinganya saat mereka hijrah ke agama baru. Anak-anak muda setempat sudah tidak mau memanjangkan telinga mereka. Yang tersisa hanyalah orang-orang tua yang masih setia dengan adat dan kepercayaan lama.

Kami ‘berburu’ orang tua bertelinga panjang untuk difoto. Tetapi memang nasib, mereka sulit ditemukan. Yang kami temukanpun tidak bersedia kami foto.

Tengah hari, kami beristirahat di Mushola setempat. Agak surprise juga masih menemukan mushola di daerah pedalaman dan kampung dayak begini. Usut punya usut ternyata banyak orang dari Jawa dan bugis yang merantau sampai ke sini. Sebagian besar mereka adalah pedagang. Jadi jangan heran jika di pasar-pasar di dearah hulu sungai Mahakam hampir sebagian besar pedagangnya adalah orang Jawa ataupun orang Bugis. Mereka pulalah yang berperan dalam penyebarann agama Islam di daerah ini.

Usai sholat dan beristirahat, maksud hati saya ingin mengedit foto di kamera. Akan tetapi saya melakukan suatu kebodohan yang tak termaafkan, tanpa sengaja saya memencet tombol format memori card di kamera SLR saya. Alhasil, semua foto perjalanan 2 hari pertama hilang tak berbekas. Damn!!!  Mau nangis rasanya  karena banyak momen dan gambar berharga yang hilang. Dengan tak bersemangat saya akhirnya kembali ke long Bagun.