Rabu, 03 Juni 2009
Three Cups of tea By : Greg Mortensen
"Di pakistan dan Afganistan, kami minum tiga cangkir teh saat membicarakan bisnis: pada cangkir pertama engkau masih orang asing; cangkir kedua, engkau teman; dan pada cangkir ketiga, engkau bergabung dengan keluarga kami. Sebuah keluarga yang siap untuk berbuat apapun- bahkan untuk mati.” Haji Ali- Noormadhar Desa Korphe.
Pada tahun 1993, Greg Mortensen mengikuti ekspedisi pendakian untuk menaklukan K2-sebuah jalur pendakian gunung di Himalaya- yang merupakan jalur paling mematikan nomor dua di dunia. Di tengah cuaca yang kurang bersahabat, stamina yang mulai melorot hingga ke titik nadir. Mortensen akhirnya tersesat dan akhirnya diselamatkan oleh Haji Ali, seorang nurmadaar (pemimpin) desa Korphe. Tetapi siapa sangka, justru kedatangannya di desa terpencil di daerah pegunungan Himalaya yang bahkan tidak tercatat namanya dalam peta ini akan sangat merubah hidupnya dan juga hidup ribuan anak di daerah sekitar puncak dunia tersebut.
Untuk membalas budi Haji Ali dan warga Korphe yang telah menyelamatkan nyawanya, juga setelah melihat kondisi hampir seluruh warga desa yang buta huruf, Mortensen berjanji akan membangun sebuah sekolah untuk desa tersebut. Ini adalah sebuah kisah tentang pemenuhan janjinya itu. Sebuah kisah yang penuh dengan kerja keras, pengorbanan, konflik dan kemanusiaan. Bagaimana perjuangan Mortensen - yang akrab disebut Dr. Greg oleh warga desa yang dibantunya- membangun sekolah di desa desa paling terpencil di atap dunia.
Membaca buku ini membuatku tersadar bahwa masih banyak sekali orang yang jauh lebih tidak beruntung. Saya masih bisa sekolah, membaca dan menulis. Sebagai seorang perempuan, di negeri ini saya masih berkesempatan untuk berkarya dan meningkatkan potensi diri. Di negara tropis ini saya tak perlu mengalami deraan badai salju dan musim dingin yang menggigit tanpa alas kaki. Hal itu membuatku tersentak malu. Di tengah sedemikian banyaknya anugerah yang saya terima, saya terlalu sering mengeluh, complain. Di saat yang sama saya juga merasa malu, ketika masih banyak saudara seiman yang hidup buta huruf di tengah bahaya musim dan perang, saya tidak berbuat apa-apa. Justru Mortensen yang adalah penganut Nasrani yang berjuang untuk membawa cahaya ilmu pengetahuan ke tengah-tengah mereka. Ironis. Seharusnya ini jadi sebuah pukulan telak bagi seluruh umat muslim di dunia. Agar mereka bisa lebih bersatu dan peduli terhadap sesama.
Kisah ini membuatku tahu bahwa kemanusiaan itu masih ada, bahkan pada seorang Amerika sekalipun. Dan bahwa ternyata, seorang George W Bush tidaklah dapat dijadikan patokan ketika kita hendak menilai Amerika secara keseluruhan, apalagi kalau hendak menilai warga Amerika. Di waktu yang sama saat Bush dan tentaranya melancarkan serangan dan meluncurkan rudal dan misil dengan dalih perang terhadap terorisme. Mortensen yang notabene adalah warga negara Amerika justru menjalankan misi kemanusiaannya tepat di tengah-tengah area konflik. Tepat di jantung wilayah yang terus menerus menjadi sasaran serangan dan penghancuran George W Bush dan sekutunya.
Kemanusiaan itu tak pandang bulu. Tak perduli suku, agama, ras, etnis, bahasa, warna kulit, wilayah dan sebagainya. Baik itu Muslim, Nasrani, Yahudi, Buddha, Pagan. Orang Eropa, Amerika, negro, Asia, Melayu, dsb. Dalam kemanusiaan semua sama. Karena pada dasarnya semua manusia diciptakan setara. Dalam kemanusiaan, hati nurani yang berbicara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar