Pages

Kamis, 02 April 2009

Tea For Two. By : Clara Ng


Malam penuh temaram bintang, angin berhembus pelan, dan cahaya bulan yang menyinari. Mendapati seorang pria bersimpuh dihadapanmu, dengan seikat bunga mawar di tangan dan berkata "would you marry me??" itu adalah impian hampir seluruh perempuan normal di muka bumi ini.

Pernikahan adalah sebuah kata keramat dan sakral untuk sebagian orang. juga menjadi tema yang terlalu sensitif untuk sebagian yang lain. terutama untuk kaum perempuan. Ketika usia mulai mengejar, diantara perjuangan hidup, karir, persahabatan dan gunjingan orang sekitar. tetapi apakah pernikahan adalah awal dari kebahagiaan dan hidup seorang perempuan?? Ibarat ending kisah2 dongeng. Happy Together, Ever After. Ataukah malah ternyata lelaki yang kita anggap sebagai Mr. Right, ternyata adalah seorang Mr. Totally Wrong?? Pernikahan memang menjadi sebuah babak baru dalam kehidupan seorang perempuan, entah itu babak yang membahagiakan atau bahkan menjadi awal sebuah kisah menyedihkan, tragis dan menguras airmata. seperti kisah telenovela ataupun dorama asia.

Membaca kisah ini membuatku merasa beruntung dengan kesendirianku yang sekarang. bukan berarti pernikahan adalah sebuah kata yang tidak untukku, karena walau bagaimanapun, aku tetaplah seorang perempuan normal. tetapi, paling tidak, aku tidak terburu-buru dalam memutuskan. pernikahan tidaklan seindah yang sering dibayangkan orang. Pernikahan bukanlah awal dari sebuah kisah Happy forever, Ever After. Ketika orang yang awalnya kita anggap Mr. Right, berubah menjadi Mr. Totally Wrong. Ketika sebuah pernikahan merubah kehidupan seorang perempuan. Atas nama cinta, perempuan terpaksa banyak mengalah, ketika seorang perempuan menghadapi penghianatan, KDRT dan perselingkuhan. Atas nama cinta, banyak perempuan menjadi kehilangan dirinya sendiri.

Membaca kisah ini, membuatku senjadi bersikap semakin kritis thd sebuah lembaga yang namanya pernikahan. Karena buat perempuan, pernikahan ibarat persetujuan menjadi “babu” secara legal dan formal. Dan itu semua dilakukan atas nama cinta. Aku bukanlah penganut feminisme semu, apalagi aku bukanlah aktifis perempuan yang gemar meneriakan emansipasi dan kesetaraan gender. Aku hanyalah aku. Manusia biasa yang ingin dicintai dan mencintai. Kalaupun akhirnya aku harus masuk ke dalam lembaga yang kukritisi sendiri, paling tidak aku ingin itu adalah pilihan terbaik yang Tuhan berikan untukku. Kalaupun akhirnya aku harus menjadi ‘pelayan’ dalam sebuah pernikahan, aku ingin menjadi ratu yang melayani raja yang cerdas, bijaksana dan tidak semena-mena. Dan sebaliknya kalaupun kata pernikahan itu tak juga untukku, aku akan dengan berani mengatakan “I’m single, brave, beauty, smart, confidence and very happy"

Hahaha kok review ini malah berubah menjadi media curhat sih. pokoknya hati-hati sebelum memilih. Daripada mengalami KDRT. Never judge a book by it’s cover, but by it’s price. Ups I did it again…hahahaha.

0 komentar:

Posting Komentar