Pages

Minggu, 06 Februari 2011

Terapi itu Bernama “Tamparan”

Tanpa sadar, seringkali kita mengeluh. Masalah ini itu, mengapa begini mengapa begitu. Tanpa sadar, sering pula kita mencari alasan dan pembenaran. Untuk membenarkan kesalahan, tindakan dan ketidak dewasaan perilaku kita sendiri. Mencari celah untuk menyalahkan orang lain, lingkungan, keadaan, situasi, tempat, jarak, waktu, dsb. Tanpa pernah mencoba melihat ke dalam “apa yang salah dengan diri kita sendiri?” Ego dan emosi menghalangi kita untuk berpikir jernih dan terbuka. 

Ketika kesadaran itu menyeruak tiba-tiba. Rasanya seperti “ditampar”. Rasanya seperti ada sebuah cermin besar muncul di hadapanku. Sosok dalam cermin terus berteriak-teriak kepadaku

“Haloo.. kamu siapa”, tanya sosok di cermin.
“Kamu bertanya padaku”, tanyaku.
“Iya, kamu. memang siapa lagi?”, sosok itu kembali berkata
“Saya Erry. Chaeriwati”, jawabku.
“Itu hanyalah nama yang diberikan orang tuamu kepadamu. Tanpa itu, kamu siapa?”, cecarnya lagi.
“Saya seorang perempuan berusia 29 tahun, keturunan Jawa, lahir dan besar di Jakarta dan berkebangsaan Indonesia.” Uraiku.
“Itu semua adalah akibat dari kelahiranmu, tetapi siapa sebenarnya dirimu”, sosok dalam cermin semakin memburu.
“Aku adalah perempuan cerdas, mandiri dan percaya diri. Aku memang tak sempurna, tetapi aku selalu belajar memperbaiki diri ” belaku.
“itu kan hanya katamu. Apa benar kau seperti itu? kalau semuanya salah apa dan siapakah sebenarnya kamu?” tanyanya semakin menjadi.
“Aku… siapa ?? aku kehabisan kata-kata.
“Siapakah aku?” sebuah pertanyaan yang terkesan simple, tetapi belum mampu kujawab dengan memuaskan saat ini. seribu tanya menyeruak tiba-tiba. “Siapa aku? untuk apa aku hidup? Kenapa… dan sebagainya”. 
 “Kalau kamu masih tak mengenali dirimu sendiri, bagaimana bisa kau mengenali dan menilai orang lain? Baik dan buruknya. Salah dan benarnya. Kenapa kau selalu saja mempersalahkan hal lain di luar dirimu sendiri? Apakah kau sudah merasa paling benar dan sempurna hingga berani mau mengambil sifat Tuhan?” sindirnya.
“Aku..tentu saja tidak. Aku tidak pantas melakukan itu. Tuhan adalah Sang Segala, sedang aku bukan apa-apa”, sanggahku.
“Kalau kamu menyadari itu, kenapa kau selalu mengeluh sampai lupa bersukur akan semua hal yang telah kau terima? Apakah hanya karena kesakitan sementara membuatmu menafikan nikmat-NYA yang lain?” cecarnya.
“Aku…..” aku kehilangan kata-kata.

PLAKK!! PLAKK!! Rasanya seperti ditampar bolak balik.

Aku jadi tersadar kalau selama ini tanpa kusadari aku sudah terlalu banyak mengeluh. Mendramatisir keadaan. Kesakitan itu bukan hanya karena kesakitan itu sendiri. tetapi karena aku membiarkannya, bahkan memelihara dan membuatnya sendiri. Tanpa kusadari aku telah menjadi orang  yang sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya. Tanpa sadar, aku menjadi makhluk pengeluh, egois, lebay, queen of the drama, cengeng, persistent, dan tidak bisa menjaga kata, dsb. Menyebalkan memang saat menyadari kalau aku ternyata semenyebalkan itu. Damn!!!

PLAKKK!! PLAKK!! PLAAKK!! Lagi-lagi serasa seperti ditampar.

Kebenaran memang terkadang menyakitkan. Tetapi tamparan itu mampu membangunkanku dari mimpi, khayal dan imaginasi yang kubuat sendiri. Membuatku mau keluar dari labirin yang kubuat sendiri. Membuatku ingin menyembuhkan luka yang kubuat sendiri. Ternyata aku masih belum mengenali diriku sendiri. Kesakitan sementara ini telah tanpa sadar membuat aku lupa bersyukur atas semua anugerah yang telah Dia beri. Aku tenggelam dalam labirin yang kubuat sendiri, berasyik masyuk dalam derita yang kubuat sendiri.

Aku sering berkata akan meninggalkan masa lalu di belakang dan tidak mengingatnya lagi. Tetapi nyatanya, beban dan luka itu masih dengan suka rela kubawa pergi. Padahal, bisa saja aku meninggalkannya dan bersikap tak perduli.  Aku tahu, kalau memaafkan orang lain (dan diri sendiri) itu juga berarti menyembuhkan diri sendiri. Tetapi faktanya, tak semudah itu aku bisa melupakan semuanya. Walaupun sama sekali tak pernah ada benci apalagi dendam. Tetapi sakit itu tetap ada, dan aku dengan naïf memilih untuk membiarkannya ada dan bersarang. Meracuni hati, merusak diri.

Aku lupa kalau Tuhan telah memberikanku banyak sekali hal, termasuk juga kapasitas dan kemampuan diri. Aku belum memanfaatkannya dengan penuh dan sebenarnya. Aku belum mengenali diri sendiri. Tanpa sadar pula aku telah menghina Tuhan yang telah mencipta dan memberiku semua ini.

Astagfirullah al Adziim…..

Hanya itu yang bisa kuucapkan. Karena yang lain Kau Maha Tahu apa yang ada di dalam hatiku kan, Tuhan?

Aku sering meminta kepada Tuhan, agar aku diberikan yang terbaik buatku menurut-Nya, yang bisa membuatku menjadi hamba-Nya yang lebih baik. Tetapi ketika kesakitan datang menyapa, aku tak menyadari kalau bisa jadi ini adalah jalan dan petunjuk-Nya. Bisa jadi ini adalah salah satu cara-Nya agar aku menjadi lebih baik. Kalau ini adalah yang terbaik buatku dan semuanya. Agar aku menjadi lebih baik, menjadi lebih siap dan lebih pantas untuk hal-hal baik yang menantiku di ujung jalan sana.

Hidup memang tak sempurna seperti semua hal di dalamnya. Tak ada manusia yang sempurna, tak ada persahabatan yang sempurna, tak ada hubungan yang sempurna, tak ada tempat yang sempurna. Sebagai entitas yang tak sempurna, yang bisa kulakukan hanya terus berupaya untuk menjadi lebih baik.

“ Tuhan, aku mohon bantu aku untuk menjadi manusia yang lebih baik dan tak lupa bersyukur. Bantu aku mengikis habis segala penyakit yang menjangkiti hatiku. Aku baik-baik saja. Aku bahagia, sehat, menarik dan sejahtera. Dan semoga ini tak lagi-lagi jadi sebuah retorika tanpa makna.” Amiin..

Balikpapan, 6 Februari 2011

Untuk seorang sahabat. Terimakasih. Thanks you so much sudah mengingatkan, walaupun serasa “ditampar”. He3x :D but, I’ll be fine. Mohon doa dan supportnya. Thanks you for being my best friend ^^

0 komentar:

Posting Komentar