Rabu, 21 Oktober 2009
Perahu Retak Sang Gelombang
Di suatu masa di negeri antah berantah. Hiduplah beberapa orang pendekar sakti. Setiap pendekar memiliki jurus dan ilmu andalan masing-masing. Lima diantara yang paling ternama adalah pendekar hijau, pendekar biru, pendekar hitam, pendekar ungu dan pendekar putih. Ke lima pendekar bersaing dalam merebut mangsa dan kuasa. Juga dalam rangka merebut simpati para penguasa. Penguasa negeri merah, penguasa pulau hijau, penguasa kota biru dan penguasa wilayah bintang tiga warna.
Pertarungan demi pertarungan dilakukan untuk mencari sang pemenang. Belum ada yang berhasil tak terkalahkan. Dalam masa yang lama mereka bersaing. Dalam jangka yang panjang mereka berperang. Terus-terusan. Intrik, jurus dan ilmu perang semua dikerahkan. Spionase, pembajakan ajudan hingga sikut-sikutan. Atas nama harta dan kuasa.
Dalam persaingan yang ketat. Dalam pertempuran-pertempuran yang hebat. Pendekar biru dan pendekar hijau mulai bersiasat. Mereka berencana menggabungkan jurus dan ilmu mereka. Dengan satu harap “menjadi sang pemenang tiada bandingan”. Walaupun ditentang banyak orang. Walaupun tak disukai para pengikut mereka sendiri, kedua pendekar akhirnya melebur jadi satu. Perkawinan.
Sejak awal perkawinan sudah mulai banyak ketidakcocokan. Budaya yang berbeda. Nilai yang berbeda. Prinsip yang berbeda. Status yang berbeda. Kedua pendekar terus berupaya mendamaikan perbedaan di dalam diri mereka sendiri. Atas nama efisiensi, banyak ajudan terbaik dan pilihan yang terpaksa hengkang atau mundur sendiri. Ilmu dan jurus yang mereka miliki tak mudah melebur. Pun jua dengan budaya dan sifat mereka sendiri. Si biru yang sombong, arogan dan efisien bertabrakan dengan si hijau yang lebih familiar dan manusiawi. Mereka mendapat julukan baru “pendekar gelombang”. Yang menurut idenya adalah gabungan dari nilai2 yang dimiliki unsur-unsur pendiri gelombang – jurus biru dan jurus hijau-. Si biru berhasil menguasai kapal gelombang. Sementara pendekar hijau dan pengikutnya perlahan menghilang. Jurus-jurus baru. Nilai- nilai baru. Budaya baru. Peraturan baru yang semakin ketat dan mengawang. Pendekar gelombang adalah penjunjung nomor wahid ajaran etis. Kejujuran. Anti korupsi, anti kolusi. Idealisme gelombang ibarat sebuah mimpi utopia di tengah bumi yang kacau balau. Tabrakan nilai dan kepentingan pun dimulai.
Ketika pendekar gelombang dengan giatnya mengkampanyekan jurus-jurus etis, mereka kehilangan pamor di mata penguasa. Kenapa? Karena para penguasa tak terbiasa dengan ajaran etis yang diusung gelombang. Mereka menganggap gelombang terlalu keras dan mengada2. Karena pada dasarnya, para penguasa juga manusia, yang masih suka hal-hal durjana. Penguasa mulai ragu memberikan pekerjaan pada gelombang. Karena buat gelombang, lebih baik tdk mendapat kue daripada hrs tdk etis. Teorinya. Padahal diantara para pimpinan, abdi dan pengikutnya sendiri, kapal gelombang tidaklah seetis yang dikatakan.
Konflik internal. Etis yang utopis. Etika yang binasa. Peraturan yang membelit diri sendiri. Membuatnya tak bisa bergerak kemana-mana. Ditambah lagi seluruh negeri yang sudah teracuni virus korupsi dan kolusi. Gelombang terlalu keras terhadap diri sendiri. Gelombang mulai tak mampu memenuhi keinginan para penguasa negeri.
Gelombang mulai sakit, tak tahan terhadap tekanan. Juga adanya pertentangan internal dan issue perceraian. Perlahan, pekerjaan-pekerjaan yang biasa diberikan pada gelombang diambil alih para pesaingnya. Mulai dari penguasa negeri merah yang biasanya mempercayakan sebagian besar pekerjaan pada gelombang mulai melirik pendekar lainnya. Pendekar ungu. Pendekar hitam. Terjadi juga pada penguasa wilayah bintang tiga warna yang berpindah kepada pendekar ungu dan si kipas merah. Penguasa kota biru-sebuah negeri yang masih sangat baru- tak lagi mempercayakan seluruh pekerjaan kepada pendekar gelombang. Lagi-lagi direbut oleh pendekar hitam, ungu dan si kipas merah.
Tahun-tahun belakangan, nama si kipas merah semakin muncul ke permukaan. Berbagai misi telah dilakukan dan mengangkat namanya di rimba persilatan. Si kipas merah yang berasal dari negeri tirai bambu memiliki jurus andalan “harga dan gratisan”. Para penguasa pun tergiur. Si kipas merah merajai persaingan mengalahkan para pendekar lainnya, termasuk pendekar gelombang.
Perahu yang ditumpangi pendekar gelombang mulai retak. Oleng tertiup angin si kipas merah. Para pengikut setia yang kecewa banyak berpindah arah. Begitu juga dengan para oportunis. Ini bukan lagi masalah kesetiaan. Kekecewaan yang bertumpuk. Ketidakpuasan hingga atas nama kesempatan. Pendekar gelombang mulai tertiup badai. Masih tak tahu apakah akan bisa bertahan atau perlahan tenggelam ke dasar lautan. Kapal gelombang butuh suatu gebrakan dan jurus sakti untuk membawanya menang dari perang.
Dan kini, kuberdiri di sini. Di atas perahu gelombang yang mulai retak dan terancam karam. Tergoda angin yang terus berhembus dari sebrang lautan. Angin si kipas merah dan godaan pendekar saingan. Muncul beberapa pilihan “Bertahan dan menambal perahu retak gelombang atau tergoda dan mengikuti arah angin para saingan.” Aku memilih pilihan ketiga, yaitu bertahan sambil melihat perubahan cuaca dan arah angin. Bukan karena kesetiaan. Tetapi lebih karena keskeptisan. Angin bisa cepat berubah arah, melebihi dugaan. Juga karena aku letih terus menerus dipermainkan. Perang.
Ketidakpastian. Ketidakleluasaan. Karena pada saat yang sama, aku ingin mempersiapkan diri membangun kapalku sendiri. Tiada lagi tekanan, penuh kesempatan dan keleluasaan. Berjuang menggapai mimpiku sendiri. Aku ingin tak lagi peduli pada perang, baik pada gelombang maupun si kipas merah. Pertanyannya : “Apakah aku bisa?” Hanya waktu yang kan menjawabnya. Wish me luck. Semangat!!
Palangkaraya, 20 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Menarik, ini karya anda sendiri ?
Posting Komentar