Pages

Kamis, 24 Juli 2008

Si Misterius Itu

Chapter 1 : Bayanganku

Sore itu, senin, 21 Juli 2008 aku menerima sms dari Amang, katanya dia akan ketemu pengarang novel Rahasia Meede di TIS Pancoran pada jam 9 malam ini. Katanya “mau ikut?? “ Terdorong rasa penasaran akan si pengarang yang karyanya dijadikan bahan bacaan bareng bulan Juni lalu. Akhirnya ku iyakan saja ajakannya.

Sorenya, ketika jam baru menunjukan jam empat sore, aku keluar dari kantor. Satu jam lebih awal dari jam kerja sebenarnya. Tetapi, bodo amat ah, toch gak ada kerjaan lagi. Semua kerjaan sudah kuselesaikan sore itu. Sekeluarnya aku dari gedung berlantai 27 di bilangan gatot subroto itu aku langsung meloncat ke atas buskota metromini 640 jurusan Tanah abang - Pasar minggu. Buskota yang biasanya penuh penumpang berjejalan masih kosong saat itu. Jalan raya pun masih relatif lancar. Aku memang sengaja pulang lebih cepat untuk menghindari kemacetan lalu lintas yang biasanya terjadi selepas pukul lima sore. Maklum, karena waktu itu adalah saatnya kaum pekerja ibukota dibebaskan dari rutinitas harian mereka untuk pulang ke rumah masing-masing.

Sepanjang perjalanan, aku terpikir seperti apa ya, sang pengarang?? Aku yang penggila novel-novel konspirasi sejenis Dan Brown jadi penasaran. Kucoba menebak dan mereka. Kubayangkan wajahnya seperti Dan Brown, atau Tom Hanks yang berperan sebagai Robert Langdon di film The Da Vincy Code. Hahaha.. sebuah khayalan tingkat tinggi. Tetapi satu hal, kurasa si misterius yang membuat penasaran teman-teman di Goodreads adalah orang yang cukup cerdas dan mau bersusah payah mengadakan riset sebagai bahan tulisannya.

Aku sudah membaca kedua karyanya yang telah diterbitkan (Negara Kelima dan Rahasia Meede). Sempat dibuat kaget. Ada juga ya, pengarang Indonesia yang bikin tulisan model begini?? Walaupun tidak murni bisa disebut sebagai novel sejarah (karena ada beberapa hal yang menurut berbagai pihak melenceng dari fakta sejarah), ES Ito, sang pengarang cukup bisa merangkai cerita dengan menghubungkan berbagai peristiwa sejarah yang (entah?? ) sebenarnya terhubung atau tidak. Dan novelnya cukup bisa merangsang kaum buta sejarah seperti saya untuk kembali mau belajar sejarah. Terlepas dari apa yang diuraikannya di novel-novelnya itu benar atau tidak.

Chapter 2: From 5 to 9

Jam lima sore aku sudah sampai di kostan. Kostanku tampak sepi. Maklumlah, teman-temanku blm kembali dari kantornya masing-masing. Aku langsung menjatuhkan diriku ke tempat tidur. Mataku menatap langit-langit yang berwarna putih. Putih, kuning, hijau, coklat, ungu, itulah warna warna yang ada di kamarku. Tembok yang berwarna kuning dipadukan dengan langit-langit putih plus tirai berwarna hijau. Puih..sangat tidak senada. Ditambah lagi dengan seprai tempat tidurku yang berwarna ungu cerah. Benar-benar kamar yang tidak menggunakan konsep keserasian. Tabrak lari.

Mataku berat, tubuhku lelah. Aku ingin tidur, istirahat. Bukan karena aku terlalu sibuk di kantor. Tetapi justru karena aku tidak ada kerjaan di kantor. Seharian di kantor tanpa ada hal berarti yang dilakukan ternyata jauh lebih melelahkan daripada terpaksa harus lembur semalaman. Percaya atau tidak, seharian di kantor yang kulakukan hanyalah ngegame, chatting, browsing, ataupun membaca buku. Membosankan. Membuat kepala dan sekujur tubuh rasanya kram. Aku ingin aktifitas berarti. Aku ingin disibukkan dengan tumpukan pekerjaan. Tapi ini bukan saatnya mengeluh, anggap saja ini adalah masa rehat yang agak lama sebelum kembali memulai ‘kegilaan’ pekerjaan. Jadi nikmati saja.

Walaupun mataku berat, aku tak bisa tidur sekarang. Karena kalau aku sudah tertidur, susah untuk dibangunkan…hohoho. Aku teringat janji nanti malam dengan Amang. Untuk mengisi waktu kuteruskan bacaanku semalam. The Kite Runner, sebuah kisah tragis bocah berusia 12 thn. Mengharu biru, bahkan ketika kutonton filmnya kemaren sore, airmataku tumpah. Banjir. Dan hal itu berlanjut saat kuputuskan membaca novelnya segera setelah selesai menonton film yang sama. Alhasil, aku harus berangkat kerja dengan mata agak bengkak.

Pukul enam sore, temen sekostanku – Dahlia - yang juga anggota Goodreads tiba. Aku langsung memberondongnya dengan pertanyaan “ntar malem lo ikut ga? Kan mau minta tanda tangannya Ito. Bareng ya”. Dia hanya balik bertanya “klo loe?? Ikut ga?? Kita liat nanti aja ya”. Serba salah juga jadinya. Karena aku sudah terlanjur mengiyakan pertemuan nanti malam. Ga mungkin kan, klo gw batalin tiba-tiba?? Lagipula gw penasaran sama yang namanya ES Ito. Aku hanya bisa menganggukan kepala. ‘ya, kita liat nanti dech’. Jawabku sekenanya, lalu masuk kembali ke kamar dan melanjutkan kisah Hasan dan Amir.

Jam menunjukan pukul delapan lewat lima belas menit. Aku mandi dan bersiap-siap. Setelah melalui ‘beberapa’ pertimbangan , akhirnya kami – Aku dan Dahlia - memutuskan untuk pergi ke tempat pertemuan.

Hanya memakan waktu lima belas menit perjalanan dari tempat kostku di bilangan Perdatam ke TIS pancoran. Sesampainya disana, aku langsung menuju Café Citrus yang terletak agak di belakang. di depan pintu, kami sempat berpapasan dengan dua orang laki-laki berjaket hitam. Entah kenapa, feelingku bilang. Jangan-jangan mereka itu orang yang mau kami temui malam ini.


Chapter 3: Ternyata..

Di pojokan ruang lantai dua yang menghadap ke luar. Kami menemukan Amang dan Gieb sudah tiba. Tak lama setelah kami duduk, datanglah dua orang lelaki – dan benar sodara-sodara, mereka adalah lelaki yang sama yang berpapasan dgn kami di pintu depan tadi - . Mereka lantas memperkenalkan diri sebagai Endry dan.. (uppss gw lupa nama yang satunya lagi ).

Selepas berbasa basi sebentar kami mulai bicara ke inti masalah, rencana tour ke Onrust yang diundur dari tgl 27 juli ke tgl 3 agustus. Untungnya si penulis ga keberatan dengan jadwal baru itu. Padahal kami sempat khawatir karena acara ini sudah mengalami dua kali pengunduran dari jadwal semula.

Pelayan café datang menghidangkan pesanan. Limesquash buatku dan Dahlia, strawberry juice untuk Endry dan kopi untuk temannya (maaf ya, kebiasaan buruk sering lupa nama orang). Sedangkan Amang dan Gieb sudah memesan sebelum kami datang.

Angin malam semilir-semilir bertiup. Dingin!! Aku menyesal gak pake jaket tadi. Benar-benar kedinginan. Tetapi lupakan dulu cuaca malam ini. Kita kembali ke pembicaraan tadi. Setelah memastikan kesanggupan penulis yang akan jadi salah satu nara sumber, obrolan mulai bergeser ke arah yang lebih luas. Hmm ‘berat’ lebih tepatnya. Mulai dari motif penulisan novel, ide cerita, bahan hingga pembicaraan politik.

Semakin malam mataku semakin terasa berat. Apalagi pembicaraan juga semakin ‘berat’. Sepanjang waktu itu aku hanya jadi pendengar setia. Dengan sesekali mengucapkan kata-kata singkat, mengangguk dan tersenyum. Hahaha. Sumpah, heran juga kenapa jadi begini ya?? Bukannya aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tetapi entah kenapa secara naluriah aku memilih diam. Gus Gieb pun, yang biasanya bersemangat juga terdiam, duduk manies dikursinya. Dan dahlia – meminjam istilah dahlia - yang biasanya penuh canda tawa ceria dan sedikit gak tau diri, juga duduk terdiam. Pembicaraan hanya antara Amang, Endry dan temannya. Dan sisanya – Aku, Gieb dan Dahlia- hanya jadi penonton saja.

Kembali ke inti permasalahan. Malam itu, didorong rasa penasaran tuk ketemu penulis yang namanya ES ito, aku bela-belain dateng kesini malem- malem. Emang sih, selain memuaskan rasa penasaran, juga karena kami adalah – lagi lagi meminjam istilah Dahlia - pendukung setianya Po. Hidup Po!!! Tetapi ternyata…..hmmm…..apa ya?? * dahi berkerut* sulit dijelaskan.


Bener - bener di luar dugaan. Bayanganku tentang Tom Hanks hancur berantakan. ES Ito yang bikin penasaran teman-teman di Goodreads tidaklah seperti apa yang kubayangkan. Dia bukanlah Dan Brown, apalagi Tom Hanks. Hohoho…malah lebih mirip tokoh2 di novel karyanya sendiri.

(SPOILER ALERT: buat yang masih penasaran, mending jangan diterusin baca tulisan ini).


Skeptis, bahkan terkesan sinis. Ucapannya kritis, tajam dan dalam. To the point. Tanpa tedeng aling aling kalau orang jawa bilang. Visioner?? Hmm… agak-agak radikal malah kalau menurut opini pribadiku. Dia sama seperti tokoh kelik, guru uban, dan batu. Bersikap kritis terhadap negeri yang hampir hancur ini. Bahkan bisa dibilang kecewa. Tak ubahnya guru uban yang selalu sinis memandang televisi dan acara-acara ‘sampah’nya. Masyarakat Indonesia yang hilang jati dirinya, lupa pada sejarahnya sendiri. Pesimis terhadap masa depan Negara yang namanya Indonesia, tetapi optimis terhadap nusantara. Karena menurutnya, Indonesia bukanlah nusantara. Dan nusantara berbeda dgn Indonesia. Jadi teringat novel pertamanya yang berjudul ‘Negara Kelima”.

Cara bicaranya yang blak- blakan adalah ciri khas ‘orang awak’ dari Sumatera Barat sana. Dan semuanya (pembicaraan, sikap, dsb) membuatku diam saja. Bahkan kalau Dahlia bilang “Ito bisa bikin gw yang penuh canda tawa ceria dan sedikit gak tau diri ini diam seribu bahasa karena yang seribu itu bisa dia pake dengan sempurna dan lebih bervariasi".

Kecewa?? Entahlah. Bisa jadi kekecewaan itu muncul karena terlalu memasang ‘high expectation’ terhadap sesuatu atau seseorang. Yang pasti, si misterius itu tidaklah seperti yang kubayangkan. Atau bisa jadi, imaginasiku yang terlalu ga karuan. Berlebihan. Whatever lah, yang pasti dari pertemuan itu aku dapat beberapa hal

Pertama : yang pasti, tanda tangan si penulis lah. Karena ini adalah tujuanku datang kesini. Dan novel Rahasia Meede sudah kubawa di tas hitamku ini.

Kedua : minuman gratis?? Buku memang bisa membawa kita kemana-mana. Tempat-tempat baru, teman-teman baru, pengalaman baru, kegiatan seru dan… makanan dan minuman gratis. Maksud hati ingin bayar sendiri, tetapi malah ada yang berbaik hati membayari… Hahaha =D

Ketiga : jangan pernah memasang expektasi terlalu tinggi. Kalau jatuh sakit. Tom Hanks ku…hu hu hu. Sebenernya bukan salah si misterius. Karena dia ga pernah promosi tentang dirinya sendiri. Tetapi imaginasiku saja yang menjeratku.


* bisik bisik* : “please don’t tell the misterious man” malu euy…

Pokoknya itulah penilaian sekilasku tentang si misterius yang gak lagi misterius buatku. Selesai ngobrol ngalor ngidul, dan sedikit berbasa basi. Jam sebelas malam kami meninggalkan café Citrus menuju rumah masing- masing. Untuk tidur, istirahat dan mengakhiri hari. Good Night, Have a nice dream

Jakarta, 24 Juli 2008

0 komentar:

Posting Komentar