Selasa, 26 Januari 2010
Suatu Hari di Negeri Angkasa
Suatu hari, di negeri angkasa, bulan dan bintang sedang bercengkrama.
“Hi bulan” sapa bintang. “kenapa kau tak pernah terlihat bersama mentari? Apakah kalian bermusuhan?”
“Tidak juga. Tetapi mungkin mentari yang tak suka padaku. Ia tak sudi kalau aku mengambil sedikit cahayanya untuk kupantulkan kembali ke bumi di malam hari”. Jawab bulan
“Kau baik sekali ya, kau sudah temani bumi sepanjang hari. Kau berikan ia cahaya pula di malam hari. Sebegitu besarnyakah kau mencintai bumi?” cecar bintang
“Entahlah. Tetapi yang pasti, aku hidup karena ada bumi. Aku ada disini, karena bumi ada. Bumilah gravitasiku. Bumilah penahan keberadaanku. Kalau bumi tiada aku kan jatuh entah kemana. Terbang, hilang ke semesta raya”. Jelas bulan
“Indah sekali hubungan kalian berdua. Terkadang aku iri rasanya”
“Kenapa kau harus iri pada kami bintang. Justru aku yang iri padamu dan mentari . Kalian memiliki cahaya sendiri. Kau tak butuh yang lain untuk keberadaanmu. Bisa hidup sendiri, mandiri. Tak seperti aku yang butuh bumi 'tuk bertahan. Dan butuh mentari tuk peroleh terang” ujar bulan.
“Ah, tidak juga. Terkadang aku merasa kesepian. Sendirian. Bulan dan bintang memang sering bertemu di kala malam tiba. Juga bersama dengan jutaan bintang lainnya dari kaumku. Tapi kita tak saling membutuhkan. Bersama tapi bukan siapa-siapa. Tak ada hubungan apa-apa. Hampa”
“Tapi kau cantik dengan cahayamu sendiri bintang, aku suka memandang kerlipanmu. Aku suka kehangatanmu. Dan aku yakin bumi juga suka kau yang begitu. Terkadang ia bilang padaku kalau di kala malam menjelang bumi rindukan datangnya bintang. Indah mempesona di langit malam”
“Bintang, kamu tahu tidak? Jujur saja, aku cemburu padamu” lanjut bulan
“Kenapa begitu”
“Sepanjang hari ku dampingi bumi. Di malam hari ku berikan sinar yang kucuri dari mentari, tetapi bumi tetap saja merindukan hadirmu. Bumi tetap saja sunyi tanpa cahayamu.”
Shing…sunyi…
“Bulan…apakah apakah kau mencintai bumi?” tanya bintang ragu-ragu
“Kenapa kau tanya begitu?”
“Hanya ingin tahu” lanjut bintang
“Hmm…bagaimana ya, aku sendiri tak tahu. Apakah ini cinta? Kami saling membutuhkan. Sudah jadi kebiasaan. Bagaimana kalau menurutmu?
“Aku juga tak tahu, jawabnya hanya ada di dalam hatimu. Tetapi….”
….sunyi sekejap
“Tetapi?”... tanya bulan
“Kalau cinta bisa tumbuh dari kebersamaan dan kebiasaan, mungkin aku bisa jatuh cinta padamu”
“Padaku? Kenapa?”
“Karena kebersamaan. Entah sudah berapa lama kita berjalan bersama. Arungi semesta raya. Entah sudah berapa juta malam kita habiskan bersama. Lama-lama aku jadi terbiasa. ”
“Terkadang aku berpikir, aku tak’kan bisa tanpa hadirmu. Terkadang aku merasa aku tak kan lengkap tanpa dirimu”
Senyap….tiada suara
“Apakah kau serius bintang? Apakah betul kau cinta padaku? Kupikir kau cinta pada mentari. Bukankah ialah sumber inspirasimu? Bukankah ia objek kekaguanmu? “
“Kenapa kau pikir begitu? “ tanya bintang
“Ia besar, berkuasa dan bercahaya. Semua semesta butuh ia. Ia dipuja dimana-mana. Termasuk bumi yang memujanya”
“Mungkin bumi memujanya. Karena ia besar, terang dan bercahaya. Sumber hidup banyak semesta. Tetapi tidak buatku” jelas bintang
“Kenapa begitu?”
“Kutak butuh cahaya dari mentari, karena aku sudah punya cahaya sendiri. Lagipula ia terlalu panas. Terlalu kuat. Terlalu membakar. Tak’kan sanggup aku dekat dengannya. Lagipula kami dari unsur yang sama. Api. Apa jadinya kalau kami bersama? Semesta pasti 'kan musnah. Atau aku saja yang akan musnah karena terpaksa mengalah”
“Hmm…jadi begitu… tapi bumi sangat mencintainya. Begitu memujanya” *bulan sedih*
“Yah, sudah kubilang itu bumi. Bukan aku. Karena buatku hanya ada kamu” ujar bintang
Hhmm…
“Sudahlah bintang tak perlu kau bercanda terus. Aku sedang sedih nih.” Gumam bulan
“Sudahlah kalau begitu maumu…aku 'kan pergi. tak mengganggumu lagi. Kau tunggu saja bumi menoleh padamu. Kau tunggu saja ia berhenti memuja mentari.” Bintang pergi menjauh
………………
“Kenapa terus kau pertanyakan. Kenapa terus kau ragukan. Tapi ku tahu cinta tak butuh alasan. Tak butuh penjelasan. Pun tak butuh balasan. Karena cinta hanya 'kan jadi cinta saja. Sesederhana itu, sekaligus juga sekompleks itu. Seperti itupun cintaku padamu” - ucap bintang di dalam hati. Hanya di dalam hati.
Untuk semesta, kau mungkin hanya seseorang. Tetapi tahukah kau kalau bagi seseorang, kau adalah semestanya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar