Pages

Rabu, 28 April 2010

Karena Setiap Perempuan Adalah Perawan (Sebuah Review atas Novel Garis Perempuan Karya Sanie B Kuncoro)


Sebegitu pentingnyakah arti sebuah keperawanan? Hingga seakan-akan nilai dari seorang perempuan hanya bisa dilihat dari ada atau tidaknya hymen - Sebuah selaput tipis yang sangat rapuh dan mudah koyak, bahkan secara tak sengaja- .

Perawan dan keperawanan, adalah issue sentral yang dibahas dalam buku ini. Perempuan dengan problematikanya. Perempuan dengan takdir dan kodratnya. Serta nilai dan budaya yang menyertainya. Buat seorang perempuan, menjadi akil baliq adalah sebuah awal dari perubahan dirinya dari seorang anak-anak menjadi seorang perawan. Seperti bunga yang mulai berbunga mekar dan siap untuk dipanen dan dipetik ataupun sekedar dihisap sarinya oleh lebah-lebah yang berkeliaran. Budaya masyarakat- terutama budaya timur yang patriakat- menempatkan seorang perempuan pada sebuah kewajiban untuk menjaga dirinya – terutama keperawanannya- agar dapat dipersembahkan utuh bagi pria yang jadi suaminya kelak. Sementara, di lain sisi kaum pria tidak pernah diwajibkan untuk tetap menjadi seorang perjaka saat ia menikahi istrinya. Pria boleh bermain-main sebelum atau bahkan setelah menikah, sementara perempuan tidak.

Ketika terjadi sebuah “kecelakaan” dan kehamilan di luar nikah umumnya masyarakat langsung memberikan cap dan stigma negative pada diri sang perempuan, tetapi tidak pada diri lelakinya. Yang lebih parah, masyarakat juga terkadang tidak peduli bahwa sebenarnya perempuan disini juga adalah korban. Termasuk juga untuk kasus perkosaan, lagi-lagi perempuanlah yang disudutkan. Sepertinya kalau bicara soal ketidakadilan, tak akan habis masalahnya. Walaupun katanya zaman sudah modern, walaupun katanya sudah terjadi kesetaraan, tetapi tetap saja masyarakat, dan bahkan kaum perempuannya sendiri belum dapat melepaskan diri dari pandangan itu.

Sebelum review ini menjadi melenceng terlalu jauh, kita kembali ke topik awal. Novel ini berkisah tentang empat orang sahabat - Ranting, Gendhing, Tawangsri dan Zhang Mey-. Dengan empat takdir dan jalan hidup yang berbeda. Ketika suatu saat masing-masing dari mereka dihadapkan pada beberapa pilihan terkait tentang takdir mereka sebagai seorang perempuan. Apakah pilihan yang akan mereka ambil?

Ranting yang berasal dari keluarga miskin dengan ibu penjual karak, dihadapkan pada sebuah dilemma apakah ia akan “menjual’ dirinya dgn menjadi istri ketiga tuan tanah Basudewo demi biaya pengobatan simboknya. Gendhing yang kebingungan ketika keluarganya terjerat hutang. Dan pada saat yang sama ada seorang pria paruh baya kaya raya yang menawarkan padanya jalan keluar dari semua masalahnya hanya dengan cara memberikan dirinya hanya untuk datu malam saja. Tawangsri yang kesepian dan kehilangan figure seorang ayah. Dan suatu ketika seperti menemukannya pada figure seorang Jenggala – duda beranak satu yang dicintai dan mencintainya. Dan dia bisa bebas untuk memilih apakah akan menjadikan pria itu sebagai “yang pertama” atau tidak. Serta Zhang Mey yang dihadapkan pada tembok tebal tradisi keluarganya yang keturunan Cina. Ketika sebuah tradisi menaruh darah perawan pertamanya di sapu tangan putih di malam pertamanya dengan pria yang telah dipilihkan keluarganya untuk menjadi suaminya adalah sesuatu yang bersifat mutlak dan tak bisa dibantah.

Empat orang perempuan, empat jalan hidup dan takdir dan empat keputusan. Membuatku tersadar kalau terkadang kita tak bisa lari dari takdir. Tetapi hidup adalah sebuah pilihan. Dan jalan hidup yang terbentuk adalah akibat dari pilihan-pilihan yang telah kita buat sebelumnya. Apa yang baik buat satu orang, belum tentu baik buat orang yang lainnya. Begitupun sebaliknya. Dan di hampir setiap episode dalam kehidupan kita, selalu ada pilihan. Sama seperti ketika kita sampai di sebuah persimpangan, kita bisa memilih belok kanan, kiri, mundur dan balik arah ke belakang atau bahkan memutuskan untuk tinggal dan diam. Ranting, Gendhing, Tawangsri dan Zhang Mey adalah contoh dari sebegitu banyaknya perempuan yang dihadapkan pada pilihan dalam hidup, dan kali ini terkait dengan masalah keperawanan.

Terlepas dari nilai, budaya ataupun dogma. setiap perempuan dewasa bebas menentukan nasib dan jalan hidupnya sendiri. Yang tentunya dengan resiko dan konsekuensinya, termasuk “beban dosa” – kalau dosa dan pahala itu benar-benar ada -. Karena setiap orang berhak untuk memilih dan menentukan hidupnya sendiri. Selama tidak mengganggu hak dan kepentingan orang lain.

Sebuah buku yang menarik, dan terkadang membuatku terbawa emosi (baca: nyolot) saat menyadari ketakbedayaan kaum perempuan untuk berontak terhadap budaya dan takdir. Yang paling bikin keki adalah di bagian Tawangsri. Sampai sekarang masih juga geregetan dengan endingnya. Kenapa harus begitu?? Memangnya tidak bisa berakhir dengan.. *****(spoiler) :D . yach, tetapi namanya juga cerita. Penulis punya hak perogatif untuk menentukan jalan ceritanya, termasuk endingnya. Pun memang dalam kehidupan nyata, semua tidak selalu berakhir sempurna.

0 komentar:

Posting Komentar