Pages

Rabu, 15 September 2010

Tembok Itu




Dulu, kuhanya bisa melihat gedung itu dari jauh, tanpa bisa kutahu apa isi di dalamnya. Sebuah gedung kokoh, tak tersentuh. Tapi entah mengapa kutergoda untuk tahu apa isinya. Seiring berjalannya waktu, jarak antara aku dan gedung itu semakin dekat. Yang tadinya hanya bisa kulihat dari jauh, mulai bisa kuintip apa di dalamnya. Perlahan, bertahun. Aku mulai diijinkan berkunjung masuk ke pelataran gedung itu. Tembok- tembok kukuh itu mulai membukakan pintu gerbang halamannya untukku, walau tidak setiap waktu.
Aku terlena. Mabuk gembira. Kupikir aku cukup dekat hingga bisa bisa masuk ke dalam gedungnya, tak hanya pelataran saja. Namun ternyata aku salah. Pintu gedung itu tetap tertutup saat kuketuk. Aku tak diijinkan masuk. Aku sedih. Aku hancur. Memang kusadari aku terlalu berani untuk mengetuk pintu utamanya. Tanpa kusadari apakah si empunya menginginkanku atau tidak. Mengijinkanku atau tidak. Aku jadi seperti tak tahu diri. Lantas aku mundur. Untuk sementara, tak berani kudekati gedung itu, bahkan hanya untuk main di halamannya. Aku takut terlena lagi. Aku takut keinginan lamaku untuk masuk ke dalamnya muncul lagi. Aku takut kecewa lagi.
Sampai beberapa lama, akhirnya keberanian itu muncul kembali. Kubuka kembali jalanku menuju gedung itu. Tanpa niat untuk masuk ke dalamnya. Tanpa terbesit keinginan untuk menjadi tamu tetap ataupun penghuninya. Aku hanya ingin berkunjung sesekali sebagai tamu dan sahabat, itu saja. Karena di waktu yang sama telah kutemui gedung lain yang ingin kumasuki. Yang membuatku jatuh hati.
Tetapi entah kenapa, tanpa sadar aku terseret kembali ke dalam gedung lama itu. Apalagi setelah kubatalkan niat dan minatku akan gedung yang baru, kembali kukunjungi rutin halaman gedung itu. Seperti tertarik, seperti terikat aku tak bisa lari dan selalu kembali ke sana – gedung itu. Hingga tiba-tiba si empunya malah mengundangku untuk masuk ke ruang di dalam gedungnya. Sesuatu yang sempat membuatku kaget, shock dan keheranan dibuatnya. Tapi aku tak bisa menolak ketika si empunya memintaku untuk menjadi penghuni di dalamnya.
Keinginan lama yang telah kukubur dalam bangkit lagi. Mimpi lama yang telah kuanggap selesai muncul kembali. Seperti ditekan tombol “ON” nya, semua masa lalu dan rasa itu hadir kembali. Tanpa bisa kukendalikan lagi. Tanpa bisa kuhentikan. Aku terlena kembali. Tetapi kali ini lebih parah, aku tak hanya terlena, aku juga terpedaya. Tak lagi kulihat dunia di luar sana. Aku hanya ingin tetap ada di sini, di dalam gedung itu.
Tetapi nyatanya.. semakin lama aku tetap merasa asing. Di dalam gedung itu masih banyak terdapat tembok-tembok lagi. Sekat di mana-mana. Tirai di segala penjurunya. Seperti sebuah labirin sesat yang berkelok. Tak mampu kutembus. Tak mampu kuungkap. Tanya itu datang merajam “ apakah pemilik gedung benar-benar telah mengijinkan aku masuk ke dalam gedungnya? Menginginkan aku tinggal di dalamnya? Mengisi ruang-ruang di dalamnya? Apakah memang benar aku yang diinginkannya untuk menjadi penghuni tetap didalamnya? Ataukah… aku hanya sekedar penghuni sementara? Atau bahkan tamu yang menginap? Karena aku tetap merasa asing, tak leluasa. Aku tak yakin apakah pemilik gedung benar-benar menginginkanku untuk tinggal atau tidak? Pun aku juga jadi tak yakin apakah aku ingin jadi penghuni tetap di dalamnya atau tidak? Ragu itu datang menggentayang. Menyebar, merajalela tanpa ampun. Aku tak tahu dan belum kutemui jawabnya.
Yang kutahu hanyalah, walaupun saat ini aku masih ingin di sana. Aku masih belum yakin sampai kapankah aku diijinkan berada di sana. Karena tembok dan sekat itu terlalu kuat membatas. Kokoh tak tertembus. Seperti membentuk pertahanan sendiri. Seperti tak sudi kujamahi, tak rela kudatangi. Aku bingung. Ketika kutanya tembok-tembok itu hanya bisa diam, bisu tanpa suara. Yang kuhadapi hanya tembok  beku dan kaku  yang dinginnya mampu membekukanku. Tapi di lain sisi, aku tahu pasti kalau tembok itu sangatlah peka. Ketika kau menekannya, dia akan membalasmu dengan kekuatan yang sama. Ketika kau menyentuhnya dengan lembut, kau juga akan merasakan kelembutan yang sama. Aksi-reaksi.  
Aku ragu, aku gamang. Tersesat tak tahu arah. Aku ingin masuk lebih jauh tapi tak kuasa. Tapi di lain sisi, ku tak tahu arah pintu keluarnya. Dan aku masih belum mau keluar dari sana:. Karena aku masih sayang, karena aku masih cinta . Ternyata… aku masih cinta labirin dan penjara.

Tentang Rasa
Astrid

Aku tersesat
Menuju hatimu
Beri aku jalan yang indah
Ijinkan ku lepas penatku
‘tuk sejenak lelap di bahumu

Dapatkah selamanya kita bersama
Menyatukan perasaan kau dan aku
Semoga cinta kita kekal abadi
Sesampainya akhir nanti selamanya
Tentang cinta yang datang perlahan
Membuatku takut kehilangan
Ku titipkan cahaya terang
Tak padam di dera goda dan masa


Jakarta, 15 September 2010

0 komentar:

Posting Komentar